Minggu, 17 Maret 2013

TEARS ON MY BODY



Semenjak saat Naumi mengenalnya aku bukan saja menjadi sandarannya dikala ia lelah. Aku tak hanya menjadi pajangan untuknya. Aku tak hanya menjadi sekedar yang terlupakan. Semenjak Naumi mengenalnya aku menjadi lebih dari sekedar diriku.

Aku mengingat saat dimana Naumi mencium harum tubuhku. Aku teringat saat Naumi menjadikanku sandaran terakhir dikala ia terlelah. Aku teringat bahkan saat Naumi mengigau didekatku. Aku mengingat semua itu.

Saat ini Naumi tengah mengenal yang namanya cinta. Aku tak tahu itu apa tapi aku selalu mendengar ia menyebut cinta, aku cinta kamu, cinta itu ternyata indah dan kata-kata cinta lainnya. Tapi aku tahu cinta itu seperti apa yang naumi lakukan kepadaku.

Naumi sangat menyayangiku, aku menjadi satu-satunya dirumah ini yang menjadi kesayangannya dan selalu bersama dengannya setiap hari. Dia tak pernah menyakitiku, menyakiti tubuhku, dan dia tidak akan.

Tapi saat ini semuanya berubah, semenjak Naumi mengenalnya. Naumi hanya mengingatnya. Hampir setiap malam Naumi berdiri atau duduk saja ditepi jendela kamar atau terkadang ia keluar kamar dan meninggalkanku untuk pergi ke taman belakang bersama ayunannya. Aku benar-benar dilupakan oleh Naumi.

Sekarang aku lebih sering dijadikan pajangan. Aku hanya didiamkan. Aku tak tahu kenapa Naumi melakukannya kepadaku. Tapi yang ku tahu semenjak yang namanya cinta selalu ia sebut ia lupa denganku. Dengan kehadiranku.

Naumi saat ini hanya menjadikanku pelepas lelahnya saja. Ia tak bergeming denganku lagi. Naumi benar-benar mengabaikanku. Rasanya sakit sekali saat diabaikan dengan naumiku yang ku sayangi. Terkadang juga Naumi selalu telat untuk hanya sekedar bersamaku. Ia lebih sering berdiam diri dimeja belajar menulis catatan harian yang ia rasakan setiap harinya. Lagi-lagi aku terabaikan.

“Aaah kenapa dia selalu membuatku melayang kelangit ketujuh. Aku menyayanginya.” Begitulah suara yang kudengar saat Naumi baru saja memasuki kamarnya. Dia langsung melemparkan tas sekolahnya tepat kearah tubuhku. Sakit. Sangat sakit menerima lemparan tas itu. Naumi mulai menyakitiku.

Tapi tak jarang juga saat naumi merasa sangat-sangat membutuhkanku ia menghampiriku dan langsung memelukku hangat didekapannya. Sangat hangat aku bisa merasakannya. Ia memelukku erat terkadang sambil bergumam atau bernyanyi.

Albet. Albert. Satu nama itu membuatku tahu bahwa seseorang yang bernama Albert itu telah mengambil Naumi dariku. Seseorang yang bernama Albert itu telah membuat Naumi melupakanku dan menelantarkanku sebagai yang paling berarti bagi Naumi.

Malam minggu itu Naumi masuk kekamar dengan wajah bahagianya, tapi Naumi tidak langsung menghampiriku, ia langsung memeluk Boo Bear. Boneka beruang yang diberikan seseorang yang bernama Albert. Akhir-akhir ini aku lebih sering dilupakan. Naumi lebih senang dengan Boo Bear yang sekarang lagi dipeluknya.

“Boo aku sangat bahagia. Aku ingin membagi kebahagianku denganmu.” Kata Naumi dengan memeluk Boo Bear sangat erat.

Naumi.. Naumi.. kau melupakanku. Apa kau tak ingat aku disini. Jangan berpaling meninggalkanku Naumi. Apa kau tak ingat sudah berapa lama aku bersamamu? Apa kau tahu seharian ini aku menunggumu. Apa kau tau setiap ada yang membuka kamarmu ini aku langsung mengira itu adalah kau. Naumiku. Batinku.

Kini aku hanyalah sebuah Bantal yang terlupakan. Aku hanyalah sebuah Bantal yang tak berharga. Aku terbuang. Naumi tidak membutuhkanku lagi. Sore itu mama datang kekamar Naumi dengan membawa sebuah bantal baru. Apakah bantal itu akan menggantikanku.

“Tidak, ma. Jangan.. Aku mohon jangan gantikan aku dengan yang lain, ma. Naumi tidak akan menyukai sibaru yang tidak berbau sepertiku. Naumi tidak akan membiarkan mama menggantiku.” Aku bertetiak berharap mama dapat mendengarku.

Aku berteriak sekeras yang ku bisa. Tapi apa dayaku? Aku hanyalah sebuah bantal. Tak aka nada seorangpun yang dapat mendengarku sekalipun itu Naumiku.

“Naumi bilang ke mama kau tak inginkan si baru itu. Bilang, Naumi!” pintaku kepada Naumi yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Mama belikan bantal baru buat kamu, Nau.” Kata mama selesai ia memberi baju kepada si baru. Melihat Naumi mengangguk mama lalu mengambilku kegenggamannya. “Sebaiknya dia diganti. Dia sudah terlalu lama. Mama akan buang ini.” lanjut mama.

Buang? Apa maksudnya aku akan dipisahkan dari Naumi. Apa itu maksudnya si baru itu benar-benar akan menggantikanku. Batinku.

“Tidak. Naumi jangan gantikan aku dengan yang lain. Apa kau tak ingat saat kau bersamaku. Naumi aku mohon.” Teriakku lagi-lagi berharap agar ada yang mendengarku.

“jangan, ma. Biar itu disebelah sini aja.” Ucap Naumi sambil menunjuk pojok tempat tidur. Tempat yang paling tidak ku sukai karena tidak terkena cahaya sang surya itu.

Naumi jangan tempatkan ku dipojok sana. Aku tak bisa tanpa cahaya sang surya itu. Naumi dengar aku, aku mohon.

Akhirnya aku tidak jadi dibuang oleh mama. Tapi mama menaruhku dipojok tempat tidur. Tempat yang Aku maupun Naumi sama-sama tidak suka. Dulu saat mama ingin menggantiku dengan bantal yang lain, Naumi sampai menangis memohon kepada mama untuk tidak menggantikanku dengan bantal yang manapun. Naumi tidak pernah berniat menggantikanku. Tapi mengapa saat ini Naumi menggantikanku? Mengapa Naumi tidak mencegah mama seperti Naumi yang dulu?

Sudah hampir satu minggu aku tinggalkan dipojok tempat tidur. Naumi sudah tidak mempedulikanku lagi, Naumi sudah tidak lagi menjadikanku sebagai sandaran lelahnya. Naumi sudah benar-benar melupakanku.

Malam ini Naumi masuk kekamar dengan deraian air mata. Naumi menangis!

“Naumi apa yang terjadi? Mengapa kau menangis? Apa ada yang menyakitimu?” tanyaku berharap ia melihat dan mendengarku.

Tepat! Naumi melihatku dan langsung menjatuhkan kepalanya ditubuhku. Ia menangis tersedu-sedu semalan. Akhirnya saat yang kutunggu tiba. Naumi membuatku merasa hidup lagi. Tapi ada apa dengan Naumi? Tubuhku sampai basah dibuatnya.

“Naumi kau kenapa?” Naumi membenamkan lebih dalam kepalanya ketubuhku.

Naumi menangis tersedu-sedu. “Albert melukai perasaanku.” Ucapnya.

Dia menjawab pertanyaanku. Dia bisa mendengarku. “Melukaimu? Apa yang si brengsek itu lakukan kepada Naumiku?”

“aku membencinya. Dia membocorkan jantungku. Mengapa dia memilih wanita itu ketimbang diriku. Kenapa?”

Aghhh… aku berteriak karena Naumi terus memukuli tubuhku. Naumi hentikan, itu sakit. Sangat sakit. Teriakku kepada Naumi.

“Dia membuatku hancur. Aku membencinya.” Ia mengangkat tubuhnya dan lalu terduduk dipinggir tempat tidur dengan memelukku erat. Kepalanya ia jatuhkan ditubuhku.

Tidak, Tuhan aku dapat merasakan sakitnya perasaannya. Gadis suci ini tersakiti hatinya. Gadis ini rapuh dan sangat terluka. Aku dapat merasakannya saat ia terus membekapku dan menjatuhkan air mata berharganya ditubuhku.

Ya Tuhan tolong hentikan siksaan ini kepadanya. Aku tak sanggup melihatnya menangis seperti ini. Batinku.

Naumi masih memukuliku bahkan terkadang menarik-narik tubuhku seolah ingin membuatku terbelah. Aku tak sanggup menerima siksaan ini dari Naumi, gadisku. Dan aku tidak sanggup melihatnya tersiksa seperti ini. Hentikan semua ini, aku mohon.

“Naumi jangan menangis. Aku mohon. Kau adalah wanita cantik dan tak pantas menangisi si brengsek itu. Naumi aku mohon.”

Naumi melemparku begitu saja, untung saja tempat tidur Naumi menangkapku, aku tak tersakiti. Aku melihat dengan Rapuhnya gadis itu menjatuhkan semua isi meja kebawah dan membuat semuanya berantakan. Aku dapat mendengarkan keputus asaan di teriakannya. Naumi menghampiriku dan langsung melemparku kearah dinding.

Aghhh… aku berteriak tetapi aku yakin Naumi tidak dapat mendengarku. Naumi terjongkok dan menundukan kepalanya membiarkan lutut dan tangan sebagai topangannya. Aku dapat merasakan sakitnya hati Naumi kala itu.

Aku melihat hampir setengah jam Naumi dalam keadaan hancur seperti itu. Aku tahu ini adalah patah hati pertama yang ia rasakan. Aku tahu seperti ada serpihan kayu didalam hatinya dan itu sangat sakit.

Naumi kemudian beranjak dari tempatnya dengan gusar dan jalannya yang sempoyongan ia mendekati meja belajarnya. Naumi mengambil sebuah gunting dan lalu menghampiri Boo Bear. Aku melihat Naumi menusuk-nusuk beruang itu. aku sampai memejamkan mataku tak ingin melihat apa yang Naumi lakukan saat itu.

Tapi setelah aku membuka mataku, aku sudah berada di tangan Naumi. Naumi menatapku dengan mata bercucuran beningan butir itu.

“aku membencimu. Aku benci kau. Benci!!!!” ia berteriak tidak kencang dan lalu menusuk diriku dengan gunting itu. Naumi membuat apa yang berada didalam tubuhku menjadi keluar semua. Naumi membuatku menjadi terbelah. Naumi membunuhku.

Sangat sakit rasanya diriku. Tapi sesaat kemudian melihat Naumi tersenyum dan lalu menangis dan tersenyum kembali akhirnya membuatku tenang. Aku melihatnya kembali ketempat tidur dan menjatuhkan dirinya ditempat tidur itu.

Aku rela, sungguh rela terbunuh jika Naumi senang dan dapat menghilangkan rasa sakitnya. Tuhan, aku tau hatinya rapuh, aku tahu hatinya sakit, tapi jika dengan cara seperti ini membuatnya menjadi kuat dan tersenyum kembali aku rela, Tuhan. Aku rela.

Aku sudah tak bisa menahan sakitnya semua ini, aku terbelah, terpecah dan tidak bisa disebut sebagai “sebuah bantal” lagi. Tapi jika itu semua membuat Naumi dapat tidur pulas malam ini, aku rela jika aku tidak menjadi “sebuah bantal” lagi.