Kalian
tahu saat hidup kalian hanya mempunyai satu tujuan, saat hidup kalian hanya
mempunyai satu visi misi. Kalian akan mencapai tujuan itu bagaimana pun
caranya. Kalian akan selalu berusaha dan selalu berusaha sampai kalian
mendapatkan tujuan itu. apa kalian punya mimpi? Aku punya mimpi. Mimpiku
menjadi seorang ballerina terkenal. Tak pernah ada niat dan tujuan lain selain
menjadi ballerina. Aku suka menari, aku cinta menari. Bahkan aku berpikir kalau
aku hidup untuk menari. Aku bernapas untuk menari. Setiap langkah kakiku,
setiap alunan music yang kudengar dapat membawaku mendalami peranku sebagai
balerina.
“Brukk!!”
Arghhhh.
Batinku berkecamuk. Kenapa harus selalu seperti ini, kenapa aku hanya bisa
menjadi perempuan lemah. Arghhhh.
Aku
masih berdiri dalam balutan baju baletku, sepatu balet dan alunan music yang
masih ku dengar. Sudah beberapa kali aku terjatuh dalam tarian balet yang
kumainkan. Keringat bercucuran membasahi dahiku, tak apalah, ini semua deminya.
Aku menaikan satu tangan ku keatas dan disambut oleh tanganku yang satu lagi.
Aku mulai berputar mengikuti alunan music diruangan penuh kaca ini. aku melihat
tubuhku mulai bergerak, melangkah, meloncat dan aku menari. Setiap gerakan
tubuhku dapat kulihat dari pantulan cermin didepanku. Satu gerakan lagi.
Batinku. Aku mencoba meloncat dan memutar badanku dan alhasil.
“BRUKKK!!”
Aku
terjatuh. Lagi.
“argh!!”
aku berteriak kesal kepada diriku. Aku sangat marah. Aku.. aku tak tahu apa
yang akan terjadi padaku bila gerakan itu tak dapat kuselesaikan. Rasanya aku
ingin menangis, aku ingin berteriak. Mengapa hanya satu gerakan saja dapat
membuatku seperti ingin membunuh diriku. Mengapa satu gerakan saja dapat
menghentikanku. Aku benci ini. aku benci dengan diriku yang tak bisa mengikuti
permainan dari gerakan balet itu. tapi bagaimanapun aku tak bisa membenci
balet, aku tak bisa membencinya. Karena dia adalah hidupku, napasku.
“kinan.
Sudah terlalu malam. Kau masih mau disini sampai jam berapa?” suara lantang
dari sudut ruangan mengingatkanku kalau ini sudah sangat terlalu larut.
“ma..
biar aku mencobanya sekali lagi.” Ucapku memohon. Aku melirik kearah jam
dinding didepanku. Jam 9 lewat hampir jam setengah sepuluh.
Mama
mendengus kesal. “tidak. Tidak usah kau tidak perlu. Gerakan itu sangat susah
dan kau tak akan bisa.” Mama merapikan barang-barangku yang berserakan
dilantai. Ia mendekatiku dan memberiku botol minum biru milikku untuk melepas
dahagaku. “ayo kita pulang.” Ajaknya kemudian.
Aku
sudah berlatih selama 4 jam lamanya. Aku sungguh bisa lupa waktu kalau sudah
mengenai balet. Aku bisa saja berlatih setengah hari penuh jika aku ingin
menghadapi lomba. Begitupun saat aku mendapatkan patah hati, aku bisa menari
balet sehari penuh tanpa berhenti agar aku bisa melupakan keluh kesahku atas
drama dari kisah cintaku.
Menari
bukan hanya sekedar menari untukku. Aku menari untuk bernapas dan bernapas
untuk menari. Lagi pula dua minggu lagi akan diadakan loma balet nasional yang
akan dihadiri ballerina-ballerina handal dari beberapa kota yang ada
diindonesia. Aku sangat terhormat Mrs. Cornelia memilihku untuk menjadi
perwakilan bagi kotaku. Sudah satu minggu aku berlatih dalam ruangan yang
dipenuhi kaca dan alunan music yang selalu mengiringiku.
Lampu
merah diujung jalan menghentikan laju mobilku. Aku termenung menunggu lampu itu
berubah warna. Seketika ada gadis kecil dengan baju lusuh dan muka penuh dengan
debu menghampiri mobilku. Gadis kecil itu menatapku dari luar kaca jendela
mobilku. Sepertinya ia tidak berniat untuk meminta uang dariku, dari tatapan
yang aneh dengan melihatku dengan mata besar bulatnya. Aku menatapnya balik,
kubuka jendela mobilku.
“kau
mau ini?” aku memberikan sekantong makanan kecil untuknya. Gadis kecil itu
menerimanya dengan malu-malu. Ia julurkan tangannya untuk mengambil makanan
itu.
“terima
kasih kakak. Apakah kakak ballerina?” tanyanya.
Aku
menatapnya lembut, “bagaimana kamu bisa tahu?”
“aku
pernah melihat kakak dikoran yang pernah kujajalkan kepada orang-orang. Kakak
mengenakan baju balet dan menggenggam piala ditangan kakak. Tapi kenapa saat
itu wajah kakak muram. Aku melihat forto kakak menari dan sangat bagus. sangat
indah. Kenapa kakak muram saat itu?”
Pertanyaan
dari gadis kecil itu seperti tanpa adanya rem, menerjang terus membuatku
teringat akan kejadian itu. ya memang saat itu aku tidak meraskan senang,
padahal aku mendapatkan juara 2 dan juga menjadi juara favorite, tetapi aku
tidak senang akan semua itu. selama aku belum menjadi juara 1, tidak akan bisa
membuat mamahku bangga akan hidupku. Mama selalu menginginkanku untuk menjadi
yang pertama. Mama ingin aku menjadi ballerina satu-satunya yang akan mewakili
Indonesia untuk ajang internasional. Tapi apa daya ku. Berulang kali aku hanya
menjadi juara 2 atau juara favorite saja. Itu membuat ku sangat sakit.
Hari
ini seperti biasa, sepulang dari sekolah aku akan berlatih balet. Setiap
keperluan yang kubutuhkan sudah siap tersedia didalam mobilku. Mang ujang,
supir pribadiku sudah menungguku dengan senyum khasnya didepan mobilku. Ia
menyapaku seperti biasa, menyebut namaku. Kinan. Sesampainya di rumah baletku,
aku sudah disamput oleh mrs. Cornelia. Ia akan mengajarkanku tehnik balet yang
lebih baik lagi dari sebelumnya. Sebelum melakukan tarian balet kami terbiasa
melakukan pemanasan terlebih dahulu.
Selang
satu setengah jam, aku selesai dalam latihanku dan segera pulang kerumah. Aku
melihat kearah garasi rumah terdapat mobil jazz berwarna merah. Aku mengira
siapa yang ada dirumahku saat ini. aku memasuki ruang peruangan didalam
rumahku. Terdengar suara bergembira mama. Aku sudah bisa mendugaa. Shasi. Kakak
perempuanku. Dia juga ballerina, sepertiku. Tapi aku berbeda dengannya. Dia
sangat pintar dan pandai menari. Shasi mampu membuat semua orang yang
melihatnya menari terhipnotis. Dia mampu membuat semua orang memberikan
standing applause untuknya. Dan yang lebih terpenting untukku. Dia mampu
membuat mama bangga. Tidak sepertiku.
Aku
hanya dapat membuat mama kecewa akan kinerja kerasku. Jika mama tahu, aku
selalu melakukan yang terbaik untuknya. Aku selalu berusaha menampilkan tarian
balet yang sempurna. Aku selalu berusaha, andai mama tahu. Pernah suatu ketika
aku mendapatkan juara 1 tarian balet yang diadakan oleh suatu kelompok
ballerina terkenal, tetapi apa yang terjadi, mama bilang, “itu baru tingkat
sesama saja, kamu harus bisa seperti shasi. Dia menang dalam tingkat apapun dan
selalu menjadi juara 1.” Andai mama tahu aku sudah sangat berusaha semampuku.
Aku berusaha sangat berusaha.
“dek,
kamu udah pulang.” Sapa shasi yang menyadari kehadiranku. Aku hanya mengangguk
pelan.
“gimana
perkembangan balet kamu? Pasti kamu sudah sangat handal ya?” tanyanya kemudian.
Aku
tersenyum simpul, “masih biasa-biasa saja, kak.”
“ya
jangan ditanya dong shasi. Adekmu itu kan tidak seperti kamu. Dia masih seperti
bebek yang ingin menjadi angsa. Kalau kamu itukan sudah langsung menjadi angsa
tanpa harus ingin menjadi angsa lagi.” Ucap mama.
Aku
menatap mereka bedua. Mama. Mama hanya menganggapku seperti itu? Kenapa..
kenapa omongan mama barusan sangat menusuk kehatiku. Mama selalu saja
membedakan kami. Mama selalu saja membuatku merasa kalau aku bukanlah salah
satu dari mereka. Mama mampu membuatku kesal? Tapi apa daya? Aku menyayangi
mama dan akan selalu membuat mama bangga akan hasil kerjaku. Aku akan
membuktikannya dengan perlombaan ini. Aku bergegas masuk kedalam kamarku. Aku
tidak ingin mendengar semua pembicaraan mereka yang akan lebih menyakiti
hatiku. Aku ingin menangis jika aku bisa menangis. Tapi untuk apa aku menangis?
Itu tak akan membuat mama bangga akan diriku.
Aku
memikirkan kata-kata mama. Aku hanya bebek yang ingin menjadi angsa. Kalau
begitu tarianku memang sangat jelek dimata mamaku. Aku menopang kepalaku dengan
kedua lututku. Aku bergeming, aku mengingat akan hal yang selama ini ku alami.
Shasi memang sempurna, dia memang angsa sejati. Buktinya dia selalu menang
dalam kejuaraan apapun. Bahkan ia menjadi wakil Indonesia diajang dunia. Aku
sangat terkesan dengannya. Dia memperoleh penghargaan sebagai ballerina termuda
saat umurnya 18th. Ia mendapatkan predikat the beautiful swam. Angsa
yang cantik.
Tapi
tiga tahun belakangan dia berhenti menari, dia berhenti menjadi seorang
ballerina. Dia memutuskan untuk mengambil kuliahnya di belanda. Entah apa yang
ada dipikirannya kala itu. aku sungguh tak mengerti, mengapa ia rela
meninggalkan banyak prestasinya hanya demi kuliah, dibelanda tempat yang jauh
dari aku, dari keluarganya. Saat itu mama sangat kecewa dengan keputusan kak
shasi yang sangat terburu-buru. Mama sangat menyesali akan keputusan kak shasi.
Oleh karena itu, aku bertekad untuk menjadi seperti kak shasi, aku bertekad
untuk menjadi ballerina terkenal dan angsa yang cantik seperti kak shasi. Tapi
apa yang terjadi, mama tidak pernah melihat hasil dari kerja kerasku selama
ini. padahal hampir tak ada lomba yang tak dapat ku menangi.
Seperti
biasa aku terus berlatih dan terus berlatih untuk dapat memenangi lomba
ballerina tersebut. Tinggal satu gerakan saja dan semua akan terasa sempurna,
tapi apa daya ku satu gerakan itu malah yang membuatku lemah. Aku juga teringat
satu gerakan meloncat sambil berputar pernah membuat kaki kak shasi cedera, dan
untung saja tuhan masih menghendakiku dan aku tak pernah mendapatkan celaka
atas gerakan itu.
“dek
sudah malam, apa kamu masih mau dalam balutan baju balet itu.” tanya kakaku
yang memasuki kamarku dan lalu duduk ditepi tempat tidurku.
Aku
mengangkat bahuku, “aku ingin menyelesaikannya ka. Hanya tinggal 1 minggu lagi
lomba itu akan datang. Kakak kapan kembali dari belanda?”
“tadi
sore. Kamu nggak usah berlatih sampai sekeras itu, nan. Balet kamu udah bagus
banget kok. Kakak suka ngeliatnya. Sangat lincah.” Pujinya.
Aku
mengangkat tanganku dan menjijitkan kakiku dan mulai menari kembali. Aku mulai
berputar dan terjatuh.
“dek
kamu nggak papa?” tanya kakakku khawatir. Ia membawaku keranjangku, ia mengurut
kakiku.
Kak
shasi memang sangat baik dan sangat menyayangiku. Aku ingin menangis
melihatnya. Dia begitu sempurna untuk menjadi kakaku.
“kinan
masih belum bisa sebaik kakak.” Aku mulai meneteskan air mataku. “kinan masih
belum bisa membuat mama bangga dengan kinan. Mama tetap saja memuji-muji kakak.
Bagaimana cara kakak menari balet bagaimana kakak bisa memenangkan semua
perlombaan tanpa mendapat halangan berarti. Nggak kayak aku.”
“nggak begitu dek.” Ucapnya menenangkanku.
“kamu sudah berhasil menjadi ballerina hebat, buktinya kamu juga udah beberapa
kali masuk majalah dan menjadi ballerina terkenal.”
“nggak
kak! Kakak tuh sama aja kayak mama, nggak pernah ngerti perasaan aku.” aku
menepis tangan kakaku. Aku sangat iri terhadapnya. Aku iri. Dan aku benci itu.
Suaraku
sangat terdengar kencang dan lantang, aku sendiri tak sadar apa yang barusan ku
ucapkan. Tiba-tiba mama datang kekamarku.
“kinan!
Mengapa kamu bersikap kasar pada kakakmu?” tanya mama dengan suara keras. “dia
itu kakakmu, dia itu saudara kandungmu. Kamu nggak boleh membentaknya. Kamu itu
udah seperti anak nakal kinan. Contoh kakakmu, dia baik dan sopan kepada
siapapun. Nggak seperti kamu.”
Aku
terhentak mendengar ucapan mama barusan, mama, mama menganggapku sebagai anak
nakal. “kenapa sih mama selalu saja membedakan kinan sama kak shasi? Kenapa
mama selalu menuntut kinan untuk menjadi seperti kak shasi sampai nggak ada
keinginan kinan yang lain selain menjadi seperti kak shasi.’ Ucapku tak kalah
kencang. “aku capek ma terus begini. Aku capek dengar mama selalu membanggakan
kak shasi didepanku. Lebih baik aku berhenti menjadi ballerina.”
“kinan
apa yang kamu ucapkan?” tanya mama ku marah.
“udah
cukup. Adek nggak boleh kayak gitu sama mama.” Kakakku mengingatkanku. Napasnya
tak teratur mengucapkan kalimat itu.
“kalian
berdua sama aja!” ucapku.
Kak
shasi memegang dadanya, ia seperti sesak? Ia seperti terus berusaha mengambil
napas. Aku dan mama terkejut melihat kakaku yang lalu tiba-tiba pingsan
dihadapan kami berdua. Aku memanggil nama kakaku. Aku sangat khawatir dan
takut.
Aku
dan mama lalu membawa kak shasi kerumah sakit terdekat dari rumah kami. Mang
ujang menyetir dengan sangat cepat, karena itu perintah mamaku. Di jok belakang
ku lihat kak shasi tertidur dipangkuan mama, ia tak sadarkan diri sejak tadi.
aku sangat khawatir dan aku sangat menyesali mengapa tadi aku kehilangan kontrol
dan bertengkar dengan mama. Ku lihat raut wajah mama yang tak kalah khawatirnya
denganku. Aku sangat menyesal.
Sesampainya
dirumah sakit, kak shasi langsung dibawa keruang UGD. Aku dan mama menunggunya
diluar ruangan. Sangat lama, dan lama sekali. Apa yang sebenarnya dokter
lakukan didalam. Dan apa sebenarnya yang terjadi dengan kak shasi. Aku tak
pernah melihat kak shasi seperti ini sebelumnya. Tak lama dokter keluar dari
ruangan. Raut wajahnya tegang.
“anda
orang tua dari shasi?” tanyanya.
Bagaimana
dokter itu bisa tahu nama kakaku. Sepertinya baru kali ini kak shasi masuk
rumah sakit. Dan mama dan aku juga baru kali ini kerumah sakit ini. mengapa ia
bisa mengenal kak shasi, padahal kami juga belum melakukan administrasi
sebelumnya. Dokter mengajak mamaku untuk keruangannya menjelaskan apa yang
terjadi dengan kakakku. Tanpa sepengetahuan mama aku mengikuti mereka berdua.
Aku sangat curiga dan aku juga sangat khawatir. Mama memasuki ruangan dokter
dan dokter pun mulai berbicara.
“penyakit
jantung shasi semakin memburuk.” Ucapnya.
Aku
terhentak mundur kebelakang, penyakit jantung? Jadi kak shasi menderita
penyakit jantung. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa? Selama ini kak shasi
sangat sehat, selama ini kak shasi tak pernah sakit, aku mulai mendengar mama
menangis tersedu-sedu. Aku juga mengira kalau mama tak tahu menahu tentang
penyakit jantung kak shasi. Karena memang sudah 3 tahun kak shasi tinggal
dibelanda.
“bagaimana
mungkin dok? Shasi tak pernah memberitahukan kepada saya bahwa ia mempunyai
penyakit parah seperti itu.” suara mama terdengar haru. Aku tahu saat itu mama
kaget, shocked dan sangat sedih menerima kenyataan anak kesayangannya menderita
penyakit sedemikian parahnya.
“anda
tak tahu? Jadi selama ini shasi tak memberitahukan kepada anda?”
Aku
melihat dari celah pintu yang terbuka sedikit mama menggeleng pelan.
“maafkan
saya kalau seperti itu. hm.. sashi sudah menderita penyakit itu tiga tahun
lamanya, sampai saat itu saya menyuruhnya untuk berhenti menjadi seorang
ballerina.”
Aku
menutup mulutku dengan kedua tanganku. Air mataku pecah begitu saja. Aku mulai
berjalan pelan meninggalkan tempat itu. jadi keputusan kak shasi yang sangat
terburu-buru untuk berhenti menari karena itu. jadi selama tiga tahun kak shasi
menyembunyikan ini semua dariku, dan dari mama. Bagaimana bisa? Aku sangat tahu
menari adalah hidupnya, menari adalah napasnya. Sama sepertiku, aku tahu
rasanya saat ada seseorang menyuruhku untuk berhenti menari, itu sangat sakit.
Seperti ada orang yang menyuruhmu untuk berhenti hidup. Itu dapat membunuhku
perlahan jika aku tak menari. Dan aku tahu bagaimana rasanya kak shasi tak
dapat menari lagi.
Aku
memegang kait pintu yang terbuat dari besi itu, sangat dingin hingga terasa
sampai kedalam tulangku. Aku membuka pintu itu dank u lihat kak shasi sedang
terbaring ditempat tidurnya, tetapi matanya sudah terbuka, ia sudah sadarkan
diri. Aku mencoba mendekatinya. Ia tersenyum simpul kearahku.
“kamu
udah tahu kan dek yang sebenarnya?” tanyanya kepadaku. Aku hanya mengangguk
pelan.
Pandangan
kak shasi mencoba untuk menerawang, “kamu bisa meraskannya dek? Sakit. Aku
sangat sakit saat dokter menyuruhku untuk berhenti menari. Karena kita
sama-sama tahu kalau menari adalah hidup kita.” Ia menetekan air matanya.
“saat
dokter bilang aku nggak boleh menari lagi itu membuat aku hancur dek. Maka dari
itu beberapa bulan kemudian aku memutuskan untuk kuliah dibelanda dan mencoba
untuk berobat disana, tapi tetap saja mereka menyuruh kakak untuk melakukan
transplatasi jantung,”
“kenapa
kakak nggak melakukannya?” tanyaku.
Ia
tersenyum, “kebanyakan operasi jantung tidak berhasil, dan hanya kemungkinan
kecil saja tubuh kakak bisa menerima jantung baru, nggak semua orang bisa
menerima jantung baru dari orang lain, dan itu akan membuatnya meninggal. Lebih
baik kakak meminum banyak obat-obatan dari pada harus menerima meninggal dimeja
operasi. Tapi kalau dengan obat-obatan saja, kakak harus menerima jika kakak
harus menghadapi serangan jantung tiba-tiba seperti tadi.”
Aku
memeluk kakakku erat, aku menangis sejadi-jadinya didepan kakaku. “maafin aku
kak. Aku tadi udah membuat kakak mengalami serangan jantung.”
“jangan
berhenti menari dek. Karena menari adalah hidup kamu, kan?” kakak mengelus
rambutku. Aku mengangguk didalam pelukannya, “kamu harus bisa menjadi ballerina
terkenal, kamu harus memenangkan pertandingan ini. babak selanjutnya dari
pertandingan ini kan adalah ajang internasional.” Dia menelan ludahnya
sebentar, “kakak mau kamu menang, dan menjadi ballerina termuda dengan umurmu
yang masih 16th.”
“kinan
janji nggak akan ngecewain kakak.”
“ingatdek,
kamu nggak usah jadi siapapun. Kamu nggak usah menjadi seperti kakak. Kamu
cuman cukup jadi dirimu sendiri, kamu cukup mendengarkan setiap alunan lagu
yang mengiringi kamu, itu akan membuatmu sempurna. kamu akan bergerak, menari
dengan sendirinya.” Kakakku lalu memelukku erat, dia mengusap-usap punggungku.
“percaya sama kakak.”
“tapi
apa aku bisa membuat mama bangga denganku, kak? Mama sepertinya tidak bangga
denganku kak.” Aku melepaskan pelukan kakakku. Dia mengusapa ir mataku saat
itu.
“mama
bangga denganmu, nak. Siapa bilang mama nggak bangga sama kamu?” suara mama
terdengar dari ujung pintu. Aku dan kak shasi sama-sama menoleh.
“selama
ini mama keras padamu agar kamu bisa menjadi ballerina terkanal dan tidak cepat
puas akan hasil yang kamu terima. Mama ingin kamu terus berusaha lebih dan
lebih lagi. Asalkan kamu tahu mama nggak pernah membeda-bedakan kamu dengan
kakakmu.”
“kamu
tahu dek, dibelakang kamu, mama selalu membanggakan kamu didepan aku. Mama
bangga banget punya anak berprestasi sepertimu.”
“apa
itu bener ma?” tanyaku penuh harap kepada mama. Mama tersenyum dan mengangguk.
Aku langsung saja berlari memeluk mama. Aku meminta maaf atas apa yang terjadi
tadi, aku telah membentak mama dan kakakku, aku sangat menyesali semua itu.
mama ternyata selama ini bangga terhadapku, aku sungguh tak menyangka akan
semua ini. ya tuhan aku selalu berpikiran buruk terhadap mamaku. Aku mencintainya
tuhan, aku mencintainya lebih dari apapun. Tak ada didunia ini yang dapat
mengalahkan mamaku, walaupun balet sekalipun. Tapi mama memang benar-benar
napas dan hidupku yang sesungguhnya diberikan oleh tuhan sebelumnya. Aku sangat
menyesali perbuatanku kepada mama tadi.
Hari
itu tiba juga. Sorot lampu menyilaukan kedua mataku, aku menutup mataku
sebentar, berdo’a. aku ingin semuanya lancer. Aku ingin membanggakan mama dan
kakakku yang kini sedang tersenyum dibangku penonton menunggu aksiku menari
balet. Gerakan itu, berkat kakakku, aku dapat menyelesaikan gerakan itu. berkat
kakakku, aku dapat melihat ketulusan ballerina yang sesungguhnya.
Sinar
lamp uterus berada disisiku. Aku membuka mataku, melihat mama dan kakakku
berpegangan tangan sambil tersenyum kearahku. Disebelah mereka ada mrs.
Caroline yang menunjukan wajah ketegangnnya. Music pun terlantunkan, alunan
music khas untuk mengikuti tarian baletku ini. aku mulai menari balet dengan
lincahnya, seperti angsa putih yang mengepakkan sayapnya.
Aku
teringat ucapan mama sebelum aku menaiki panggung tadi, mama bilang tunjukkan
sayapmu. Dan mama juga bilang, mama sadar beliau tidak akan memaksakan kehendak
untuk aku memenangkan kontes ini. Mama hanya ingin melihatku berhasil
mengepakkan sayapku saat lomba nanti. Saat itu aku benar-benar merasakan kasih
sayang tulus dari seorang ibu yang selama ini aku tak menganggap perhatiannya
kepadaku.
Aku
kembali menari menaikan satu kakiku dan berputar kembali, aku melangkah,
meloncat dan berputar dengan indahnya. Aku mengepakkan sayapku, aku berhasil.
Aku dapat merasakan angsa menari kedalam diriku. Aku dapat merasakan sayapku
tepat dibelakangku. Aku tersenyum bahagia, aku tersenyum dan terus menari
mengikuti alunan music tersebut. Aku terus menari dan berputar sampai lagu terdengar
hening dan berhenti.
Aku
tersenyum dan kemudian menutup mataku melihat reaksi yang akan kudapatkan dari
semua orang, dua detik mereka diam dan hening dan kemudian aku mendapati sebuah
tepukan, aku membuka mataku. Mama berdiri menepukan tangannya sambil tersenyum
bangga kepadaku. Dan lalu diikuti kakaku dan semua orang yang berada ditempat
itu. semuanya berdiri dan bertepuk tangan. Aku.. aku, aku sangat bangga dengan
diriku. Aku berhasil. Aku bisa. Tuhan ini keajaibanmu. Terima kasih.
Aku
tersenyum lebar dan lalu membungkukan badanku mengucapkan terima kasih. Lalu
aku kembali keruangan tunggu khusus ballerina disini. Tinggal dua peserta lagi.
Akhirnya tiba saatnya untuk pengumuman hasil lomba. Semua ballerina dikumpulkan
diatas panggung. Kami semua, ballerina-ballerina saling berpegangan tangan. Aku
menutup mataku, satu persatu juara diumukan, dari juara favorite, sampai juara
dua. Kini tiba saatnya pengumuman untuk juara pertama, aku menutup mataku dan
mempererat peganganku.
“juara
pertama jatuh kepada “THE BEAUTIFUL SWAN QUEEN”.” Ucap sang pembawa acara.
Aku
terhenyak. Bukan aku. Tapi siapa dia?
“KINAN
SAPUTRA” lanjutnya pembawa acara tersebut.
Aku
membuka mataku. Aku terdiam, masih terdiam. Aku melihat mamaku dikursinya
menyebut namaku dan menyuruhku maju. Pembawa acara tersebut memanggil namaku
lagi. Aku tersadar. Aku juara pertama. Dan aku akan mewakili Indonesia. Aku tak
percaya ini. aku maju kedepan dengan meneteskan air mataku. Tropi piala ku
terima. Aku tersenyum menunjukan ini kepada mamaku. Beliau tersenyum. Aku
sangat bangga dengan hasil kerja kerasku. Aku sangat sangat bangga. Aku bisa
menjadi angsa putih. aku bisa.
Mimpiku.
Aku mendapatkan mimpiku, tentunya dengan usaha kerasku. Aku dapat meraihnya.
Ini mimpiku. Tapi aku menyadari aku pernah melupakan apapun demi mimpiku, aku
pernah meremehkan kasih sayang mamaku, sampai aku melukai hatinya. Aku hanya
ingin kalian tahu, mungkin kalian pernah sama halnya denganku. Kalian ingin
mencapai mimpi kalian, mewujudkannya. Tapi ingatlah, kalian bjuga harus tetap
melihat apapun yang ada disisi kalian. Kalian tidak boleh mengacuhkan apappun
yang ada disisi kalian saat ini. karena tanpa mereka juga, kalian tidak akan
pernah bisa mencapai mimpi kalian. Ballerina. Mimpiku. Ini sungguh keajaiban
terindah dari tuhan yang pernah ia titipkan kepadaku setelah keluargaku.
By:
Dewi Rachmawati