Beberapa
minggu terakhir Justin tidak bisa lepas dari barang terlarang itu. Aku sudah
mengatakan kepadanya untuk berhenti memakainya, untuk tidak membelinya lagi,
bahkan aku sudah memintanya agar dia masuk kedalam pusat rehabilitasi. Tapi
semua permintaanku ditolak olehnya. Entah sudah berapa kali aku meminta mungkin
sampai mulutku berbusa untuk memintanya.
Dia
mencintaiku. Katanya. Dia rela melakukan apapun untukku. Yeah dia melakukan
semuanya. Tapi semua itu pengecualian untuk yang satu tadi aku sebutkan. Dia
sudah ketagihan dengan barang haram narkoba untuk jenis tertentu yang tidak aku
ketahui. Dia memang pernah mencoba untuk berhenti membeli dan memakainya, tapi
saat itu aku menemukannya didalam apartementnya bersama seorang temannya yang brengsek,
Lucas. Pria itu membawa pengaruh tidak baik untuk Justin.
Aku
bingung apakah aku harus beruntung memiliki Justin sebagai kekasihku karena dia
adalah seorang yang sangat sempurna. bahkan aku selalu memujinya didepan tuhan.
Tapi ataukah aku sangat tidak beruntung memiliki kekasih seorang pecandu
narkoba?
Saat
ini aku sedang dalam perjalanan menuju apartement Justin. Dia sudah dua hari
tidak dapat ku hubungi. Walaupun sebelumnya dia bilang dia sanga sibuk dengan
bisnis bersama temannya –ku harap itu bukan narkoba- tapi aku tidak bisa
berharap banyak dengannya.
Udara
musim dingin menerpa tubuhku. Satu bulan lagi tahun akan berganti dan akan
berubah menjadi tahun yang lebih baik lagi. Aku berharap. Dan aku selalu
berharap agar Justin berubah dan mau
masuk kepusat rehabilitasi untuk berhenti mengkonsumsi barang haram tersebut.
Aku
membuka pintu apartement dan menemukan Justin sedang tak sadarkan diri disofa
ruang tamu bersama seorang pria, Dylan –lelaki brengsek selain Lucas-. Mereka
adalah satu paket yang sulit dipisahkan.
Aku
sangat kaget dan ketakutan saat langsung dihadapkan dengan Justin yang seperti
over dosis? Aku tidak tahu. Mulut Justin mengeluarkan busa. Aku menghampirinya
dan langsung mengangkat kepalanya untuk ku taruh diatas pahaku.
“Justin!—justin!!”
aku menepuk –nepuk pipinya untuk membuatnya sadar. Tapi dia membuka matanya
saja tidak.
Aku
meneteskan air mata yang sebenarnya aku tahu akan keluar jika aku bertemu
Justin. Karena aku tahu dia akan berbuat seperti ini lagi. Tapi tidak ku
pikirkan dia akan mengalami over dosis seperti ini.
“Justin!!”
aku kembali berteriak untuk membuatnya tetap sadar. Menunggu para medis. Aku
langsung menelepon rumah sakit saat Justin sudah berada ditanganku.
Dia
membuka matanya, menatapku dengan kedua mata Hazelnya. “Sabrina…” dia
memanggilku.
“Apa?
Tahan. Para medis akan segera datang membawamu.” Aku mengambil tangannya untuk
menggemgamnya. Aku mencium baku jarinya. Menaruhnya dipipiku untuknya dapat
merasakan air mataku.
Aku
menangis sangat kencang. Aku tidak ingin kehilangan Justin! Tidak sekalipun !
aku sangat mencintainya dan aku tahu dia juga sangat mencintaiku. Kami sudah
membicarakan tentang acara pernikahan kami dan aku tak ingin semuanya gagal
berantakan hanya karena barang sialan itu yang terus Justin konsumsi.
“Sabr—in-na
ma—afff…” dia berkata terbata-bata membuat busa dari dalam mulutnya bertambah
banyak keluar.
Aku
mengeratkan pegangan tanganku padanya. Menciumnya sekali lagi. Aku tak ingin
kehilangannya Tuhan. Jangan dia, dan jangan sekarang. Aku mohon padamu.
“Tidak…
jangan sekarang. Aku ingin kau selamat. Kau—aku—jangan menyerah. Aku mohon.
Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku mohon.” Aku tidak tahu kata apa yang
keluar dari mulutku. Tapi aku meminta padanya untuk bertahan dan jangan
meninggalkanku.
Dia
menggelengkan kepalanya. Rambutnya terasa halus dipahaku dan dia tersenyum
membuat busanya mencapai lehernya lebih cepat dari yang sebelumnya.
Dylan.
Dia tidak over dosis seperti Justin. Dia masih hidup tapi dia tidak sadar dan
aku tidak tahu dia pingsan atau tertidur. Dia brengsek!
Para
medis datang dan membawa justin. Aku mengikuti dari mobilku. Aku terus
memancarkan doa kepada tuhan untuk menyelamatkannya. Aku—aku ingin dia selamat!
Dia adalah satu-satunya pria yang sangat mengertiku dan dia adalah keluargaku
satu-satunya!
Tuhan.
Aku tidak pernah meminta apapun padamu. Aku tidak pernah memohon sebelumnya.
Aku mohon, selamatkan dia. Selamatkan dia, tuhan! Aku tahu engkau mendengarku!
Aku—aku sangat mencintainya. Tuhan aku mohon. aku mohon! aku terus berpanjatkan
doa.
Kini
Justin sudah ditangani didalam ruangan rumah sakit. aku tidak bisa masuk untuk
melihatnya! Tapi demi Tuhan! Aku ingin bersamanya saat ini. Tuhan selamatkan
dia! Aku mohon.
Aku
terus menangis. Tidak peduli pada tatapan orang-orang yang berada disekitarku
saat ini. persetan dengan mereka semua! Mereka tidak tahu bagaimana diposisiku.
Aku duduk dibangku rumah sakit berharap dokter akan segera keluar dan masih
berharap tuhan menyelamatkan hidupnya.
Tuhan
aku tahu ini waktu yang lama untuknya bersama barang haram itu. Dia tidak
pernah mengingat semua kebaikanmu. Dia tidak pernah mengingat kau yang
memberikannya hidup, dia tidak pernah mengingat semua keajaiban yang kau
berikan padanya. Tapi aku mohon padamu, tuhan. Selamatkan hidupnya, berikan dia
kesempatan kedua untuk menjalani dan memperbaiki hidupnya. Berikan dia hidup
kedua tuhan.
Semua
yang ku tahu saat ini hanya bagaimana berbicara kepada tuhan untuk
menyelamatkan hidup Justin. Aku tahu tuhan mendengarku. Aku tidak pernah
dikecewakan olehnya.
Dokter
keluar ruangan. Wajahnya penuh keringat dan dia juga terlihat lelah. Dia
memberitahuku Justin selamat. Aku langsung memanjatkan terima kasihku untuk
tuhanku. Aku tidak percaya aku sudah berada diluar ruangan Justin selama hampir
dua jam. Pantas saja aku sudah merasa lelah. Tepat pukul Sembilan malam, Justin
dipindahkan keruang inap. Sementara Dylan, aku tidak peduli padanya.
Aku
melihat wajahnya damai tenang dalam tidurnya. Napasnya teratur mendakan dia
tetap hidup. Dia bersamaku sekarang dalam tempat tidur rumah sakit dia terlihat
seperti baik-baik saja walaupun dia tidak baik. Dia seperti malaikat.
Aku
menggenggam tangannya mencium buku-buku jarinya lalu menaruhnya dipipiku. “Tak
peduli seberapa buruknya yang orang pikirkan tentang kau. Tidak perduli
bagaimana mereka bilang aku tidak pantas bersamamu. Tapi aku akan selalu
bersamamu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu disini. Bersamamu.
Hanya bersamamu, Justin. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu---“ aku
memberhentikan kalimatku. “Asalkan engkau juga berjanji tidak akan
meninggalkanku. Aku mencintaimu. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Tetap
disini.” Lalu aku pun tidur dikursi rumah sakit tetap menunggunya untuk
sadarkan diri.
***
Dia
bukannya tidak mengerti betapa indahnya hidup ini. Tapi dia bilang dia belum
merasakan betapa indahnya hidup ini. aku mengutuk ayahnya yang mengenalkannya
pada benda terlarang itu dan juga teman-teman brengseknya.
Dia
bangun dalam keadaan yang membaik. Tersenyum saat melihatku terus menatap dan
menggenggam tangannya. Dia malaikatku, tuhan. Aku mohon jangan ambil dia.
“Aku
akan melakukannya, Sabrina.” Ucapnya.
“Melakukan
apa?”
“Rehabilitasi.”
Dia berkata dan itu membuatku sungguh bahagia. Aku mencintaimu tuhan! “Asal—“
aku menunggunya untuk melanjutkan perkataannya. “Kau tetap bersamaku. Kau tetap
disampingku selama aku melakukan rehabilitasiku. Aku—kau maksudku jangan pernah
tinggalkan aku.”
Aku
tersenyum padanya. Bagaimana mungkin dia berpikir aku akan meninggalkannya?
Yang ada aku yang terus berpikir dia akan meninggalkanku karena barang itu.
Aku
menggeleng. “Tidak. aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku sudah pernah
berjanji, bukan?”
Dia
mengangguk lalu mengelus puncak kepalaku. “Maafkan aku. Aku lelaki brengsek.
Aku tidak bisa berubah walaupun aku tahu itu semua untukmu.”
“Untuk
kita.” Aku membenarkannya.
“Aku
tahu aku sangatlah---buruk dan kita begitu kacau. Aku sangat temperamental dan
kau sangat—entahlah aku pikir kau sangat sempurna untukku. Aku—tidak ehm tahu
harus—ehm bagaimana lagi.” Ucapnya. Dia tersipu malu saat mengucapkan semua
itu.
“Aku
akan menemanimu selama kau rehab. Aku selalu menunggu saat-saat dimana tidak
ada barang haram itu diantara kita. Aku menunggu saat kau menjadi milikku
utuh.”
“Aku
selalu menjadi milikmu.”
“Aku
tahu.” Aku tersenyum padanya dan dia balas tersenyum padaku.
“Kau
sangat sempurna.”
Aku
menggelengkan kepalaku. “Kita sangat sempurna saat kita bersama.” Aku
membenarkan kalimatnya.
***
Aku
tidak menyangka dia benar-benar melakukannya untukku. Dia mendaftarkan dirinya
sendiri kepusat rehabilitasi. Tuhan aku jatuh cinta lebih dalam padanya sekali
lagi. Dia memelukku, kami sedang berada diluar sebuah gedung rehabilitasi.
Dia
tersenyum ragu kearahku. “Hmm semuanya ok?”
“Seharusnya
aku yang bertanya padamu!” aku menyikut perutnya dan dia hanya tertawa renyah.
“Jangan
tinggalkan aku, ok?”
“Aku
akan menunggumu.” Aku berjinjit untuk mencium pipinya dan itu langsung membuat
pipinya bersemu kemerahan.
“Aku
suka saat kau melakukannya untukku.” Ungkapnya.
Matanya
menatapku lebih dalam lagi. Aku jatuh cinta pada pria didepanku ini untuk
kesekian kalinya dalam hidupku!
“Maka
aku akan melakukannya untukmu sekali lagi.” Aku mengulanginya lagi. Mencium
pipinya, tapi membiarkannya sedikit lebih lama dari pada yang pertama.
Kami
berjalan memasuki gedung tersebut. Aku berharap gedung ini –maksudku semua yang
berada dalam gedung ini- akan membawa perubahan sangat berarti untukku dan dia.
Aku tahu dia bersungguh-sungguh kali ini. aku tahu, karena dia mencintaiku.
Semua
masa-masa sulit Justin, ia hadapi bersamaku. Aku selalu menemaninya dan
menyemangatinya untuk suatu perubahan yang akan berarti bagi kami. Aku tahu
kami akan mendapatkan hasil yang sebaik tuhan janjikan kepada umatnya. Kami
melewati bulan pertama dengan tidak menyenangkan. Dokter yang merehab Justin
tidak mengijinkanku untuk menemaninya. Itu memang sudah peraturan. Tapi Justin
menolak untuk direhab kalau tidak ada aku bersamanya. Padahal aku sudah bilang
kepadanya bahwa aku akan menunggunya diluar atau aku akan menjemputnya saja
tapi dia tetap tidak ingin. Dia ingin bersamaku. Aku tahu ketakutannya, tapi
untuk apa dia takut jika itu untuk suatu perubahan?
Kami
melewati minggu pertama dalam bulan pertama dengan web-came. Aku menunggu
diluar ruangan dengan Ipadku dan dia didalam ruangan dengan semua yang
merawatnya dan Ipadnya. Dengan dia bisa tenang karena aku bersamanya dan
begitupun aku bisa melihat apa yang dia lakukan walaupun kami tidak
berkomunikasi. Bulan pertama adalah fase menginap untuknya. Aku juga ikut.
Memang terdengar aneh dan tidak mungkin. Namun bukan Justin namanya jika dia
tidak bisa meminta pihak tersebut untuk menyetujuinya. Namun setelah minggu
kedua aku hanya menunggi dirumah dan sering menelponnya dan beberapa hari dalam
seminggu menjenguknya.
Memasuki
bulan kedua, yaitu Desember, kami mulai datang seminggu empat kali. Belum ada
perubahan berarti untuknya. Tapi dia menghindari barang terlarang tersebut,
karena ia sekarang tinggal bersamaku dan aku selalu mengawasinya. Kami tinggal
bersama- yeah hanya untuk masa-masa sulit dalam hidupnya.
Justin
mulai suka berdoa dan juga melamun. Dia bilang kepadaku dia belum bisa
merasakan tuhan lagi disekitarnya. Tapi aku tetap terus ingin membuatnya
percaya bahwa tuhan ada disekitar kami. Dia lebih sering melamun, entah apa yang
dia pikirkan. Dia tidak memberitahuku.
Minggu
keempat dalam bulan Desember, kami menghabiskan malam natal dan natal dirumah
kami. Mengundang para pria brengsek disekeliling Justin dan juga beberapa teman
kami. Justin terlihat senang menceritakan tentang masa-masa sulitnya dalam
rehabilitasinya, walaupun ia tidak terlihat antusias.
Aku
memandangi Justin saat ia sedang bersama dengan Lucas dan Fransisca yang sedang
membicarakan minggu pertama dalam rehabilitasinya. Dia sedikit tidak enak pada
Lucas kurasa karena ia kini sudah tidak seperti Lucas dan Dylan lagi. Tapi
untuk apa dia merasa tidak enak? Dia
sedang melakukan yang terbaik yang pernah dia lakukan saat ini.
Kami
melewati natal dengan bahagia. Dia sangat bahagia begitupun denganku. Semua
teman kami pulang dengan mengucapkan rasa senang dan bersyukur kepada kami
dengan tulus kecuali Lucas. Aku rasa dia tidak senang jika Justin berhenti
menjadi seperti dirinya. Dan justin hanya memberikan tatapan meminta maaf
padanya. Brengsek!
Hari-hari
setelah natal kami lewati dengan baik dan Justin ternyata juga mendapatkan
liburan natal dan tahun baru seperti orang-orang bekerja kebanyakan. Dia
terlihat sangat senang dan dia kembali keapartementnya.
Kami
menghabiskan malam tahun baru dengan makan malam dan menyaksikan pertunjukan
kembang api paling besar yang diadakan oleh kota kami. Aku tak bisa pungkiri
bahwa ini adalah malam yang sempurna bagi kami. Aku bahagia dan aku
mencintainya. Sangat.
Kami
pulang saat jam menunjukan pukul tiga pagi di hari pertama tahun baru. Karena
aku yang membawa mobil, maka aku mengantarnya dahulu kembali ke apartementnya.
Dia mencium bibirku lembut sebelum dia keluar dari mobil dan mengucapkan
selamat malam. Aku kembali kerumahku yang tidak terlalu jauh dari
apartementnya.
Dua
bulan dalam masa sulit Justin malah membuatku semakin jatuh cinta lebih dalam
dan dalam lagi padanya. Aku pikir bahkan aku tidak pernah jatuh cinta sedalam
ini sebelumnya.
Aku
membuka pintu rumahku. Tidak terkunci. Apa aku lupa menguncinya? Entahlah aku
hanya berharap tidak ada penyusup masuk kedalam rumahku. Aku berbalik untuk
menutup pintu dan lalu menemukan setangkai mawar putih dimeja dekat sofa.
Mawar
putih.
Aku
tidak tahu siapa yang menaruhnya. Jika ia penyusup, ia adalah penyusup yang
manis mungkin tapi sebelum ia membunuhku.
Aku
membuka pintu kamarku. Sangat gelap dan tidak ada cahaya kecuali cahaya dari
ruang tamu. Aku menutup pintu kamarku dan mencari saklar lampu. Saat aku
menyalakannya, aku membulatkan mataku. Ingin berteriak tapi rasanya aneh. Dia
penyusup!
“Bag—bagaimana
kau bisa disini, Justin?” ucapku menutup mulutku tak percaya. “Dan—semua ini?”
mawar putih dalam tempat tidurku. Sangat banyak mawar putih aku tidak bisa
menghitungnya saat ini. Dia tersenyum mungkin ingin tertawa melihat ekspresi
terkejutku.
“Justin!”
aku memekik padanya dan dia masih tetap menyeringai.
“Hmm—aku
tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan memulai.” Dia berucap dan itu
membuatku bingung. Memulai? Memulai apa? Apa yang ingin ia mulai?
Dia
mendekat kearahku. Masih tersenyum. Aku tak ingin mundur dan tak ingin juga
maju untuk menghampirinya. Dia berada didepanku, aku bisa mencium harum
tubuhnya saat ini. Justin mengambil tanganku dan lalu menggenggamnya didepan
dadanya.
“Hmm—“
dia terlihat ragu. “Sabrina, Aku tahu aku sangat kacau. Aku buruk untukmu—“ dia
berhenti dan menahan senyumnya. “Ya tuhan, apa aku pernah mengucapkannya?” aku
menggeleng. Aku tahu selalu ia sering mengucapkan kalimat itu padaku.
“Baik.
Hm—aku sangat kacau dan kau sempurna. Kau cantik, baik, menerima apapun
kekuranganku. Bahkan kau tidak pernah meninggalkanku disaat kau tahu aku berada
ditempat yang salah. Aku tahu kita sangat rumit belakangan sebelum ini. Aku
tahu aku sangat—aku sangat bodoh jika aku tidak mencintaimu—aku tahu—“
“Justin!”
aku memekik menahan tawaku karena dia selalu mengucapkan aku tahu aku tahu
selalu.
“Baik-baik.”
Dia mengangguk. “Aku sangat mencintaimu. Aku selalu ingin bersamamu dan mungkin
aku tidak bisa hidup tanpamu, Sabrina.”
Dia berucap lagi dan kini aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. “Aku
mencintaimu. Ya tuhan aku mencintaimu! Hm—maukah kau menjadi pendamping
hidupku? Kau-maksudku maukah kau menikah denganku?”
Ya
Tuhan! Aku tidak tahu malaikat apa yang kini sedang menari bersamaku. Aku
terbang kelangit yang paling tinggi karena malaikat membawaku terbang. Aku
menari, menyanyi dan rasanya aku tidak ingin ini berakhir. Aku tersenyum dan
tertawa bahagia. Dan lalu aku dihdapkan kembali dengan malaikatku yang nyata.
Didepan mataku. Menggenggam tanganku.
“Jadi?”
dia menatapku menaikan sebelah alisnya padaku.
Aku
mengangguk masih tetap tersenyum karena tidak bisa menghilangkan rasa
bahagiaku.
“Apa?”
dia menggodaku. Menambah erat pegangan pada tangannya.
“Iya!
Aku—aku akan menikah denganmu.” Aku menjawab meneteskan air mata bahagiaku. Dia
menciumku tulus dibibir dan memelukku sangat erat sampai aku sulit bernapas.
Tapi mengetahui dia adalah napasku aku merasa tidak apa-apa.
“Terima
kasih.” Ucapnya dirambutku. Aku mengangguk dibahunya. “Terima kasih untuk tidak
meninggalkanku, terima kasih untuk selalu ada. Dan terima kasih karena percaya
padaku aku akan berubah.”
Aku
memeluk lehernya. Tidak tahu harus berkata apa. Dia—sangat sempurna! dan dia
adalah milikku!
***
Kami
melewati empat bulan masa rehabilitasi dan sudah hampir dua bulan sejak masa ia
memintaku untuk menikah dengannya. Kami sangat bahagia. Aku bahagia begitupun
dengannya. Dia terus membaik walaupun masih sering melamun. Dia masih tetap
sama tidak memberitahukan apa yang ia pikirkan kepadaku.
Aku
rasa waktu berjalan begitu cepat. Justin sudah keluar dari rehabilitasi dan
mulai menjalankan hidupnya senormal yang ia bisa. Namun semuanya juga terasa
aneh karena Justin berteman dengan Lucas lagi. Aku sangat tahu Lucas masih
ingin menjerumuskannya kemasa lalu lagi. Tapi aku tidak akan membiarkannya.
Setiap
aku melarangnya untuk tidak berteman dengan Lucas, dia selalu menolak dia
bilang semua tidak akan terulang kembali. Walau aku benar-benar merasa aneh dan
ragu terhadapnya. Aku tidak tahu aku bisa percaya atau tidak. Tapi perkataannya
saat itu berterima kasih untuk percaya padanya berarti sangat untukku.
Musim
akan berganti menjadi musim semi. Aku tidak dapat menunggu lagi untuk hari
pernikahan kami. Aku sangat senang dengan kehidupan baru kami yang terbebas
dari barang terlarang itu.
Musim
tekah berganti dan Justin menjadi pendiam akhir-akhir ini, dan dia tidak
terlalu banyak melamun lagi saat denganku. Tapi aku yakin dia menyembunyikan
sesuatu. Apa dia memikirkan hari pernikahan kami yang akan tiba sebentar lagi?
“Ada
apa sayang?” tanyaku saat kami menghabiskan malam dirumahku.
“Hmm—aku
ingin mengunjungi rumah bibiku.” Dia berkata menunggu reaksiku.
“Ya?”
Dia
terlihat ragu. “Itu berarti aku akan meninggalkanmu. Aku tidak ingin
meninggalkanmu.” Dia melanjutkan. Tangannya menggenggam tanganku didepan
dadanya.
“Berapa
hari kau pergi?”
Dia
menggelengkan kepalanya. “Sebentar lagi kita akan menikah.”
“Tidak
apa-apa, Justin. Aku mengerti, mereka keluargamu. Dan kau berhak mengunjungi
keluargamu.”
“Ya,
kau benar Sabrina.” Ucapnya benar-benar terlihat ragu.
“Ada
apa?” aku bangkit berdiri dari sofa dan menatapnya.
“Aku
akan pergi meninggalkanmu. Aku hanya—aku hanya tidak mau.” Dia memelukku.
Menaruh kepalanya diatas bahuku.
“Kau
akan kembali!” ucapku yakin.
“Sabrina.”
Dia melepaskan pelukannya. “I have to leave you (really) this time—I’m gonna
miss you. I’m gonna love you forever.”
Aku
tersipu oleh ucapannya. “Kau hanya berkunjung. Dan saat kau pulang aku akan ada
di bandara dan menjemputmu.” Ucapku. “Dan aku juga tentunya akan merindukanmu.
Dan mencitaimu selamanya.” Balasku.
Ia
tersinyum simpul seperti tidak percaya tapi aku memberinya senyuman untuk
membuatnya percaya padaku.
“I
love you…”
“I
love you more and more and more.” Balasku.
***
Matahari
sangat terik. Sudah dua hari Justin pergi mengunjungi Bibinya di Canada. Dia
berjanji pulang hari senin dan aku berjanji akan menunggunya dan menjemputnya
dibandara. Dan itu berarti adalah dua hari lagi dari sekarang.
Aku
menghabiskan waktu dengan berbelanja bersama Fransisca, sahabatku. Dan kami sampai
melupakan waktu kalau ini sudah malam. Kami bergegas pulang kerumah
masing-masing. Aku tidak membawa mobil dan dia yang mengantarku kali ini.
Sedari pagi tadi aku memang merasakan perasaan yang tidak enak saat sedang
bersama Nicolas. Karena ia bilang Lucas dan Dylan berada di Canada saat ini.
aku berdoa dalam semoga Justin tidak membohongiku.
Jika
dia membohongiku? Entahlah apa yang akan terjadi. Tapi perasaanku sangat tidak
baik. Dan saat aku menelepon Justin panggilanku selalu masuk kedalam pesan suara
miliknya. Apa dia membohongiku?
Fransisca
mengantarku sampai depan rumahku. Saat dia sudah pergi dengan mobilnya dan aku
mencari kunci rumahku, handponeku berbunyi dari sebuah nomor yang tidak aku
kenal. Aku membuka pintu rumah dan lalu mengangkat teleponku.
“Sabrina….”
Aku
menghela napas panjang. Membanting semua belanjaanku dan menjatuhkan
handponeku. Aku terjatuh lemas diatas lantai rumahku. Aku tidak percaya apa
yang baru saja orang itu katakan. Aku menampar pipiku untuk menyadarkanku.
Sakit.
Sangat
sakit. aku menangis. Aku—aku tidak tahu harus melakukan apa selain menjatuhkan
air mata itu. salah seorang teman Justin meneleponku dan memberitahuku bahwa
Justin ditemukan tidak berdaya didalam kamar hotelnya di Canada. Aku tidak bisa
merasakan jantungku masih berdetak. Aku menangis. Sakit. sangat sakit.
Aku
mendengar suara mobil berdecit dan suara pintu mpbil yang ditutup kasar.
“Sabrina…” itu suara Fransisca. Dia mengetuk pintuku. Dan setelah menyadari itu
tidak terkunci ia masuk kedalam rumahku dan menemukanku terduduk dengan menarik
lututku dan menumpu kepalaku pada lututku. Aku masih menangis.
“Ya
tuhan!” pekiknya. “Aku mendengarnya! Aku mendengarnya Sabrina. Aku langsung
kembali saat aku percaya bahwa itu tidak main-main. Justin---“
Aku
menangis sangat kencang dan dia memelukku. Dia menenagkanku tapi aku tidak
bisa! Aku tidak bisa tenang saat keadaan seperti ini.
Justin!
Kekasihku! Dia.meninggal. aku tertawa dalam pelukan Fransisca, masih sama
dengan air mataku yang seolah tak bisa berhenti.
“Tidak!
dia tidak—tidak! dia berjanji akan pulang hari senin!” aku mencoba menghibur
diriku dan untuk tidak percaya akan semua kenyataan pahit ini.
“Sabrina…”
suaranya terdengar menyesal. Aku merasakan air matanya juga dipundakku. Dia
menangis sama sepertiku, tapi hatinya tidak sama sepertiku. Dia menangis karena
dia sahabatku dan dia berduka juga untukku. Tapi berbeda denganku. Aku menangis
karena hatiku hancur. Hatiku remuk. Aku—aku bahkan tidak tahu istilah lain
untuk hatiku saat ini.
“Justin…”
pekikku.
Semua
ini hanya mimpi. Dia akan kembali dengan raut wajah bahagia. Dan dia akan
menikahiku! Tentu saja! Dua minggu lagi kami akan menikah! Kami akan menikah!
Aku akan memakai gaun putih seputih bulu angsa dan dia akan memakai Tuxedo
senada denganku. Dia akan menungguku dialtar kami bersama seorang pendeta. Aku
akan berjalan menuju altar dengan diiringi Jazzy dan Jaxon. Kami akan bahagia
dan berciuman setelah resmi menikah.
Tapi
kenyataan ini menghancurkan semuanya. Kenyataan ini menusukku!
Aku
menangis dan lalu semua gelap tidak menggambarkan apa-apa lagi.
***
Justin
meninggal karena Over dosis. Dia menggunakan obat terlarang itu lagi. Dia
terjebak oleh permainan Lucas dan Dylan. Justin ditemukan tidak bernyawa oleh
karyawan hotel disana. Dia dipastikan meninggal saat dimulutnya mengeluarkan
busa dan ia tidak bernapas lagi.
Hari
ini aku berada dibandara dengan balutan dress berwarna hitam dan kaca mata
hitam. Fransisca dan Delilah memayungiku. Salah satu diantara mereka
melingkarkan tangannya disekeliling tubuhku dan terus mengusapnya untuk
menenangkanku.
Kami
disini semua –Keluarga Justin dan teman kami- menunggu dibandara untuk
menjemput Justin yang diterbangkan dari Canada. Aku tidak sanggup menerima
semua kenyataan ini tuhan. Aku menangis, tak bisa lagi meluapkan perasaanku
selain dengan menangis.
Aku
lebih tenang saat melihat peti kayu itu keluar dari dalam pesawat. Semua
terdiam dan berduka untukku dan Justin. Mereka hanya terdiam. Aku mengahampiri
peti mati itu. perjalanan dari tempatku menuju peti itu seperti memakan waktu
yang sangat lama. Rasa tenangku habis saat aku mulai mendekati peti itu.
“Justin…”
panggilku.
Aku masih berharap jika semua ini hanyalah leluconnyha. Dia akan keluar dan memberiku kejutan karena waktu kami untuk melangsungkan pernikahan tiggal sebentar lagi. Aku harap dia bercanda dan menahan tawanya dalam peti mati itu dan menunggu reaksiku. Dia akan keluar dari peti mati itu dan membuatku kaget dan lalu kami akan berpelukan.
Aku masih sangat percaya jika ini hanyalah leluconnya saja.
Aku kesal! Kenapa Justin tidak keluar-keluar juga dari peti mati itu! Aku ingin membunuhnya sekarang jika ia benar-benar tidak keluar dari peti mati itu. Aku
menghapus air mataku. Tidak perduli betapa merah hidungku dan betapa bengkak
kedua mataku karena menangis dan tidak tidur. Saat Melihat peti itu aku
memanggilnya sekali lagi untuk memastikan Justin akan menjawabnya dan
memastikan semua ini bukanlah mimpi.
“Justin…”
aku menangis. Menaruh kedua tanganku diatas peti mati itu. Menahan semua
gejolak didalam diriku untuk tidak sehancur yang kulakukan saat didepan peti
mati jasadnya.
Aku dihadapkan dengan realita peti mati yang tidak bergerak dan tidak ada Justin yang akan mengagetkanku. Aku benci Justin!
Aku
masih sama menundukan kepalaku membiarkan peti mati itu menopangku. “Kau
berjanji pulang senin.” Aku berkata. “Tapi kau pulang hari ini. senin masih
tinggal besok. Kau tidak menepati janjimu!” aku menekankan kata janji pada
kalimat yang diiringi air mata dan suara isakanku. “Aku menepati janjiku untuk
menjempumu dibandara. Aku menepatinya. Tapi bukan hari ini! bukan seperti ini!”
aku berteriak tidak peduli semua memandang kami. “Bukan denganmu dalam peti
ini!” suaraku bergetar dan aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku.
“Baby,
why do you leave me?” aku terisak. Menangis lebih kencang. “Why do you have to
go? I was counting on forever, now I’ll never know. I cant even breathe.” Aku
menumpahkan semua yang aku rasakan padanya. Aku kecewa. Aku marah dan aku
sedih.
“Everybody
saying you’re not coming home now. This cant be happened to me!” aku
melanjutkan. Menahan semuanya tapi tidak bisa. Aku terlalu hancur untuk itu.
“This is Just a Dream.”
***
Semua akan kembali ketempat dimana kita berasal, dan Justin terlebih dahulu kembali tanpa memberikanku peringatan sebelumnya. Dia kembali kesisinya dengan membawa semua cintaku yang tertanam untuknya. Aku tahu cinta yang ku punya melebihi cinta insan biasa. Aku terlalu mencintainya tuhan. Aku sangat menginginkan dirinya.
Dalam perjalanan hidupku dan Justin, dia adalah satu-satunya hal berharga yang melebihi berlian. Dia adalah cinta sempurna yang ku miliki. Namun kini dia telah tiada. Justin membiarkanku menghadapi semuanya sendirian, dengan hatiku yang tak lagi utuh karena dibawa bersamanya dan menyisakanku dengan kenangan tentangnya.
Justin akan selalu menjadi yang selalu ku ingat, selalu ku cinta. Tidak perduli betapa semua orang menentang hubungan kami dulu, dan tidak perduli seberapa orang menganggapku gila karena masih mengharapkannya kembali. Aku masih sangat mencintainya. Dia adalah hidup satu-satunya yang ku miliki.