Sabtu, 27 Juli 2013

JUST A DREAM



Beberapa minggu terakhir Justin tidak bisa lepas dari barang terlarang itu. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk berhenti memakainya, untuk tidak membelinya lagi, bahkan aku sudah memintanya agar dia masuk kedalam pusat rehabilitasi. Tapi semua permintaanku ditolak olehnya. Entah sudah berapa kali aku meminta mungkin sampai mulutku berbusa untuk memintanya.

Dia mencintaiku. Katanya. Dia rela melakukan apapun untukku. Yeah dia melakukan semuanya. Tapi semua itu pengecualian untuk yang satu tadi aku sebutkan. Dia sudah ketagihan dengan barang haram narkoba untuk jenis tertentu yang tidak aku ketahui. Dia memang pernah mencoba untuk berhenti membeli dan memakainya, tapi saat itu aku menemukannya didalam apartementnya bersama seorang temannya yang brengsek, Lucas. Pria itu membawa pengaruh tidak baik untuk Justin.

Aku bingung apakah aku harus beruntung memiliki Justin sebagai kekasihku karena dia adalah seorang yang sangat sempurna. bahkan aku selalu memujinya didepan tuhan. Tapi ataukah aku sangat tidak beruntung memiliki kekasih seorang pecandu narkoba?

Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju apartement Justin. Dia sudah dua hari tidak dapat ku hubungi. Walaupun sebelumnya dia bilang dia sanga sibuk dengan bisnis bersama temannya –ku harap itu bukan narkoba- tapi aku tidak bisa berharap banyak dengannya.

Udara musim dingin menerpa tubuhku. Satu bulan lagi tahun akan berganti dan akan berubah menjadi tahun yang lebih baik lagi. Aku berharap. Dan aku selalu berharap agar Justin  berubah dan mau masuk kepusat rehabilitasi untuk berhenti mengkonsumsi barang haram tersebut.

Aku membuka pintu apartement dan menemukan Justin sedang tak sadarkan diri disofa ruang tamu bersama seorang pria, Dylan –lelaki brengsek selain Lucas-. Mereka adalah satu paket yang sulit dipisahkan.

Aku sangat kaget dan ketakutan saat langsung dihadapkan dengan Justin yang seperti over dosis? Aku tidak tahu. Mulut Justin mengeluarkan busa. Aku menghampirinya dan langsung mengangkat kepalanya untuk ku taruh diatas pahaku.

“Justin!—justin!!” aku menepuk –nepuk pipinya untuk membuatnya sadar. Tapi dia membuka matanya saja tidak.

Aku meneteskan air mata yang sebenarnya aku tahu akan keluar jika aku bertemu Justin. Karena aku tahu dia akan berbuat seperti ini lagi. Tapi tidak ku pikirkan dia akan mengalami over dosis seperti ini.

“Justin!!” aku kembali berteriak untuk membuatnya tetap sadar. Menunggu para medis. Aku langsung menelepon rumah sakit saat Justin sudah berada ditanganku.

Dia membuka matanya, menatapku dengan kedua mata Hazelnya. “Sabrina…” dia memanggilku.

“Apa? Tahan. Para medis akan segera datang membawamu.” Aku mengambil tangannya untuk menggemgamnya. Aku mencium baku jarinya. Menaruhnya dipipiku untuknya dapat merasakan air mataku.

Aku menangis sangat kencang. Aku tidak ingin kehilangan Justin! Tidak sekalipun ! aku sangat mencintainya dan aku tahu dia juga sangat mencintaiku. Kami sudah membicarakan tentang acara pernikahan kami dan aku tak ingin semuanya gagal berantakan hanya karena barang sialan itu yang terus Justin konsumsi.

“Sabr—in-na ma—afff…” dia berkata terbata-bata membuat busa dari dalam mulutnya bertambah banyak keluar. 

Aku mengeratkan pegangan tanganku padanya. Menciumnya sekali lagi. Aku tak ingin kehilangannya Tuhan. Jangan dia, dan jangan sekarang. Aku mohon padamu.

“Tidak… jangan sekarang. Aku ingin kau selamat. Kau—aku—jangan menyerah. Aku mohon. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku mohon.” Aku tidak tahu kata apa yang keluar dari mulutku. Tapi aku meminta padanya untuk bertahan dan jangan meninggalkanku.

Dia menggelengkan kepalanya. Rambutnya terasa halus dipahaku dan dia tersenyum membuat busanya mencapai lehernya lebih cepat dari yang sebelumnya.

Dylan. Dia tidak over dosis seperti Justin. Dia masih hidup tapi dia tidak sadar dan aku tidak tahu dia pingsan atau tertidur. Dia brengsek!

Para medis datang dan membawa justin. Aku mengikuti dari mobilku. Aku terus memancarkan doa kepada tuhan untuk menyelamatkannya. Aku—aku ingin dia selamat! Dia adalah satu-satunya pria yang sangat mengertiku dan dia adalah keluargaku satu-satunya!

Tuhan. Aku tidak pernah meminta apapun padamu. Aku tidak pernah memohon sebelumnya. Aku mohon, selamatkan dia. Selamatkan dia, tuhan! Aku tahu engkau mendengarku! Aku—aku sangat mencintainya. Tuhan aku mohon. aku mohon! aku terus berpanjatkan doa.

Kini Justin sudah ditangani didalam ruangan rumah sakit. aku tidak bisa masuk untuk melihatnya! Tapi demi Tuhan! Aku ingin bersamanya saat ini. Tuhan selamatkan dia! Aku mohon.

Aku terus menangis. Tidak peduli pada tatapan orang-orang yang berada disekitarku saat ini. persetan dengan mereka semua! Mereka tidak tahu bagaimana diposisiku. Aku duduk dibangku rumah sakit berharap dokter akan segera keluar dan masih berharap tuhan menyelamatkan hidupnya.

Tuhan aku tahu ini waktu yang lama untuknya bersama barang haram itu. Dia tidak pernah mengingat semua kebaikanmu. Dia tidak pernah mengingat kau yang memberikannya hidup, dia tidak pernah mengingat semua keajaiban yang kau berikan padanya. Tapi aku mohon padamu, tuhan. Selamatkan hidupnya, berikan dia kesempatan kedua untuk menjalani dan memperbaiki hidupnya. Berikan dia hidup kedua tuhan.

Semua yang ku tahu saat ini hanya bagaimana berbicara kepada tuhan untuk menyelamatkan hidup Justin. Aku tahu tuhan mendengarku. Aku tidak pernah dikecewakan olehnya.

Dokter keluar ruangan. Wajahnya penuh keringat dan dia juga terlihat lelah. Dia memberitahuku Justin selamat. Aku langsung memanjatkan terima kasihku untuk tuhanku. Aku tidak percaya aku sudah berada diluar ruangan Justin selama hampir dua jam. Pantas saja aku sudah merasa lelah. Tepat pukul Sembilan malam, Justin dipindahkan keruang inap. Sementara Dylan, aku tidak peduli padanya.

Aku melihat wajahnya damai tenang dalam tidurnya. Napasnya teratur mendakan dia tetap hidup. Dia bersamaku sekarang dalam tempat tidur rumah sakit dia terlihat seperti baik-baik saja walaupun dia tidak baik. Dia seperti malaikat.

Aku menggenggam tangannya mencium buku-buku jarinya lalu menaruhnya dipipiku. “Tak peduli seberapa buruknya yang orang pikirkan tentang kau. Tidak perduli bagaimana mereka bilang aku tidak pantas bersamamu. Tapi aku akan selalu bersamamu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu disini. Bersamamu. Hanya bersamamu, Justin. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu---“ aku memberhentikan kalimatku. “Asalkan engkau juga berjanji tidak akan meninggalkanku. Aku mencintaimu. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Tetap disini.” Lalu aku pun tidur dikursi rumah sakit tetap menunggunya untuk sadarkan diri.

***

Dia bukannya tidak mengerti betapa indahnya hidup ini. Tapi dia bilang dia belum merasakan betapa indahnya hidup ini. aku mengutuk ayahnya yang mengenalkannya pada benda terlarang itu dan juga teman-teman brengseknya.

Dia bangun dalam keadaan yang membaik. Tersenyum saat melihatku terus menatap dan menggenggam tangannya. Dia malaikatku, tuhan. Aku mohon jangan ambil dia.

“Aku akan melakukannya, Sabrina.” Ucapnya.

“Melakukan apa?”

“Rehabilitasi.” Dia berkata dan itu membuatku sungguh bahagia. Aku mencintaimu tuhan! “Asal—“ aku menunggunya untuk melanjutkan perkataannya. “Kau tetap bersamaku. Kau tetap disampingku selama aku melakukan rehabilitasiku. Aku—kau maksudku jangan pernah tinggalkan aku.”

Aku tersenyum padanya. Bagaimana mungkin dia berpikir aku akan meninggalkannya? Yang ada aku yang terus berpikir dia akan meninggalkanku karena barang itu.

Aku menggeleng. “Tidak. aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku sudah pernah berjanji, bukan?”
Dia mengangguk lalu mengelus puncak kepalaku. “Maafkan aku. Aku lelaki brengsek. Aku tidak bisa berubah walaupun aku tahu itu semua untukmu.”

“Untuk kita.” Aku membenarkannya. 

“Aku tahu aku sangatlah---buruk dan kita begitu kacau. Aku sangat temperamental dan kau sangat—entahlah aku pikir kau sangat sempurna untukku. Aku—tidak ehm tahu harus—ehm bagaimana lagi.” Ucapnya. Dia tersipu malu saat mengucapkan semua itu.

“Aku akan menemanimu selama kau rehab. Aku selalu menunggu saat-saat dimana tidak ada barang haram itu diantara kita. Aku menunggu saat kau menjadi milikku utuh.”

“Aku selalu menjadi milikmu.”

“Aku tahu.” Aku tersenyum padanya dan dia balas tersenyum padaku.

“Kau sangat sempurna.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Kita sangat sempurna saat kita bersama.” Aku membenarkan kalimatnya.

***

Aku tidak menyangka dia benar-benar melakukannya untukku. Dia mendaftarkan dirinya sendiri kepusat rehabilitasi. Tuhan aku jatuh cinta lebih dalam padanya sekali lagi. Dia memelukku, kami sedang berada diluar sebuah gedung rehabilitasi.

Dia tersenyum ragu kearahku. “Hmm semuanya ok?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu!” aku menyikut perutnya dan dia hanya tertawa renyah.

“Jangan tinggalkan aku, ok?”

“Aku akan menunggumu.” Aku berjinjit untuk mencium pipinya dan itu langsung membuat pipinya bersemu kemerahan.

“Aku suka saat kau melakukannya untukku.” Ungkapnya.

Matanya menatapku lebih dalam lagi. Aku jatuh cinta pada pria didepanku ini untuk kesekian kalinya dalam hidupku!

“Maka aku akan melakukannya untukmu sekali lagi.” Aku mengulanginya lagi. Mencium pipinya, tapi membiarkannya sedikit lebih lama dari pada yang pertama.

Kami berjalan memasuki gedung tersebut. Aku berharap gedung ini –maksudku semua yang berada dalam gedung ini- akan membawa perubahan sangat berarti untukku dan dia. Aku tahu dia bersungguh-sungguh kali ini. aku tahu, karena dia mencintaiku.

Semua masa-masa sulit Justin, ia hadapi bersamaku. Aku selalu menemaninya dan menyemangatinya untuk suatu perubahan yang akan berarti bagi kami. Aku tahu kami akan mendapatkan hasil yang sebaik tuhan janjikan kepada umatnya. Kami melewati bulan pertama dengan tidak menyenangkan. Dokter yang merehab Justin tidak mengijinkanku untuk menemaninya. Itu memang sudah peraturan. Tapi Justin menolak untuk direhab kalau tidak ada aku bersamanya. Padahal aku sudah bilang kepadanya bahwa aku akan menunggunya diluar atau aku akan menjemputnya saja tapi dia tetap tidak ingin. Dia ingin bersamaku. Aku tahu ketakutannya, tapi untuk apa dia takut jika itu untuk suatu perubahan?

Kami melewati minggu pertama dalam bulan pertama dengan web-came. Aku menunggu diluar ruangan dengan Ipadku dan dia didalam ruangan dengan semua yang merawatnya dan Ipadnya. Dengan dia bisa tenang karena aku bersamanya dan begitupun aku bisa melihat apa yang dia lakukan walaupun kami tidak berkomunikasi. Bulan pertama adalah fase menginap untuknya. Aku juga ikut. Memang terdengar aneh dan tidak mungkin. Namun bukan Justin namanya jika dia tidak bisa meminta pihak tersebut untuk menyetujuinya. Namun setelah minggu kedua aku hanya menunggi dirumah dan sering menelponnya dan beberapa hari dalam seminggu menjenguknya.

Memasuki bulan kedua, yaitu Desember, kami mulai datang seminggu empat kali. Belum ada perubahan berarti untuknya. Tapi dia menghindari barang terlarang tersebut, karena ia sekarang tinggal bersamaku dan aku selalu mengawasinya. Kami tinggal bersama- yeah hanya untuk masa-masa sulit dalam hidupnya.

Justin mulai suka berdoa dan juga melamun. Dia bilang kepadaku dia belum bisa merasakan tuhan lagi disekitarnya. Tapi aku tetap terus ingin membuatnya percaya bahwa tuhan ada disekitar kami. Dia lebih sering melamun, entah apa yang dia pikirkan. Dia tidak memberitahuku.

Minggu keempat dalam bulan Desember, kami menghabiskan malam natal dan natal dirumah kami. Mengundang para pria brengsek disekeliling Justin dan juga beberapa teman kami. Justin terlihat senang menceritakan tentang masa-masa sulitnya dalam rehabilitasinya, walaupun ia tidak terlihat antusias.

Aku memandangi Justin saat ia sedang bersama dengan Lucas dan Fransisca yang sedang membicarakan minggu pertama dalam rehabilitasinya. Dia sedikit tidak enak pada Lucas kurasa karena ia kini sudah tidak seperti Lucas dan Dylan lagi. Tapi untuk apa dia merasa tidak enak?  Dia sedang melakukan yang terbaik yang pernah dia lakukan saat ini.

Kami melewati natal dengan bahagia. Dia sangat bahagia begitupun denganku. Semua teman kami pulang dengan mengucapkan rasa senang dan bersyukur kepada kami dengan tulus kecuali Lucas. Aku rasa dia tidak senang jika Justin berhenti menjadi seperti dirinya. Dan justin hanya memberikan tatapan meminta maaf padanya. Brengsek!

Hari-hari setelah natal kami lewati dengan baik dan Justin ternyata juga mendapatkan liburan natal dan tahun baru seperti orang-orang bekerja kebanyakan. Dia terlihat sangat senang dan dia kembali keapartementnya.

Kami menghabiskan malam tahun baru dengan makan malam dan menyaksikan pertunjukan kembang api paling besar yang diadakan oleh kota kami. Aku tak bisa pungkiri bahwa ini adalah malam yang sempurna bagi kami. Aku bahagia dan aku mencintainya. Sangat.

Kami pulang saat jam menunjukan pukul tiga pagi di hari pertama tahun baru. Karena aku yang membawa mobil, maka aku mengantarnya dahulu kembali ke apartementnya. Dia mencium bibirku lembut sebelum dia keluar dari mobil dan mengucapkan selamat malam. Aku kembali kerumahku yang tidak terlalu jauh dari apartementnya.

Dua bulan dalam masa sulit Justin malah membuatku semakin jatuh cinta lebih dalam dan dalam lagi padanya. Aku pikir bahkan aku tidak pernah jatuh cinta sedalam ini sebelumnya.

Aku membuka pintu rumahku. Tidak terkunci. Apa aku lupa menguncinya? Entahlah aku hanya berharap tidak ada penyusup masuk kedalam rumahku. Aku berbalik untuk menutup pintu dan lalu menemukan setangkai mawar putih dimeja dekat sofa.

Mawar putih.

Aku tidak tahu siapa yang menaruhnya. Jika ia penyusup, ia adalah penyusup yang manis mungkin tapi sebelum ia membunuhku.

Aku membuka pintu kamarku. Sangat gelap dan tidak ada cahaya kecuali cahaya dari ruang tamu. Aku menutup pintu kamarku dan mencari saklar lampu. Saat aku menyalakannya, aku membulatkan mataku. Ingin berteriak tapi rasanya aneh. Dia penyusup!

“Bag—bagaimana kau bisa disini, Justin?” ucapku menutup mulutku tak percaya. “Dan—semua ini?” mawar putih dalam tempat tidurku. Sangat banyak mawar putih aku tidak bisa menghitungnya saat ini. Dia tersenyum mungkin ingin tertawa melihat ekspresi terkejutku.

“Justin!” aku memekik padanya dan dia masih tetap menyeringai.

“Hmm—aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan memulai.” Dia berucap dan itu membuatku bingung. Memulai? Memulai apa? Apa yang ingin ia mulai?

Dia mendekat kearahku. Masih tersenyum. Aku tak ingin mundur dan tak ingin juga maju untuk menghampirinya. Dia berada didepanku, aku bisa mencium harum tubuhnya saat ini. Justin mengambil tanganku dan lalu menggenggamnya didepan dadanya.

“Hmm—“ dia terlihat ragu. “Sabrina, Aku tahu aku sangat kacau. Aku buruk untukmu—“ dia berhenti dan menahan senyumnya. “Ya tuhan, apa aku pernah mengucapkannya?” aku menggeleng. Aku tahu selalu ia sering mengucapkan kalimat itu padaku.

“Baik. Hm—aku sangat kacau dan kau sempurna. Kau cantik, baik, menerima apapun kekuranganku. Bahkan kau tidak pernah meninggalkanku disaat kau tahu aku berada ditempat yang salah. Aku tahu kita sangat rumit belakangan sebelum ini. Aku tahu aku sangat—aku sangat bodoh jika aku tidak mencintaimu—aku tahu—“

“Justin!” aku memekik menahan tawaku karena dia selalu mengucapkan aku tahu aku tahu selalu.
“Baik-baik.” Dia mengangguk. “Aku sangat mencintaimu. Aku selalu ingin bersamamu dan mungkin aku tidak bisa hidup tanpamu, Sabrina.”  Dia berucap lagi dan kini aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. “Aku mencintaimu. Ya tuhan aku mencintaimu! Hm—maukah kau menjadi pendamping hidupku? Kau-maksudku maukah kau menikah denganku?”

Ya Tuhan! Aku tidak tahu malaikat apa yang kini sedang menari bersamaku. Aku terbang kelangit yang paling tinggi karena malaikat membawaku terbang. Aku menari, menyanyi dan rasanya aku tidak ingin ini berakhir. Aku tersenyum dan tertawa bahagia. Dan lalu aku dihdapkan kembali dengan malaikatku yang nyata. Didepan mataku. Menggenggam tanganku.

“Jadi?” dia menatapku menaikan sebelah alisnya padaku.

Aku mengangguk masih tetap tersenyum karena tidak bisa menghilangkan rasa bahagiaku.

“Apa?” dia menggodaku. Menambah erat pegangan pada tangannya.

“Iya! Aku—aku akan menikah denganmu.” Aku menjawab meneteskan air mata bahagiaku. Dia menciumku tulus dibibir dan memelukku sangat erat sampai aku sulit bernapas. Tapi mengetahui dia adalah napasku aku merasa tidak apa-apa.

“Terima kasih.” Ucapnya dirambutku. Aku mengangguk dibahunya. “Terima kasih untuk tidak meninggalkanku, terima kasih untuk selalu ada. Dan terima kasih karena percaya padaku aku akan berubah.”

Aku memeluk lehernya. Tidak tahu harus berkata apa. Dia—sangat sempurna! dan dia adalah milikku!

***

Kami melewati empat bulan masa rehabilitasi dan sudah hampir dua bulan sejak masa ia memintaku untuk menikah dengannya. Kami sangat bahagia. Aku bahagia begitupun dengannya. Dia terus membaik walaupun masih sering melamun. Dia masih tetap sama tidak memberitahukan apa yang ia pikirkan kepadaku.

Aku rasa waktu berjalan begitu cepat. Justin sudah keluar dari rehabilitasi dan mulai menjalankan hidupnya senormal yang ia bisa. Namun semuanya juga terasa aneh karena Justin berteman dengan Lucas lagi. Aku sangat tahu Lucas masih ingin menjerumuskannya kemasa lalu lagi. Tapi aku tidak akan membiarkannya.

Setiap aku melarangnya untuk tidak berteman dengan Lucas, dia selalu menolak dia bilang semua tidak akan terulang kembali. Walau aku benar-benar merasa aneh dan ragu terhadapnya. Aku tidak tahu aku bisa percaya atau tidak. Tapi perkataannya saat itu berterima kasih untuk percaya padanya berarti sangat untukku.

Musim akan berganti menjadi musim semi. Aku tidak dapat menunggu lagi untuk hari pernikahan kami. Aku sangat senang dengan kehidupan baru kami yang terbebas dari barang terlarang itu.

Musim tekah berganti dan Justin menjadi pendiam akhir-akhir ini, dan dia tidak terlalu banyak melamun lagi saat denganku. Tapi aku yakin dia menyembunyikan sesuatu. Apa dia memikirkan hari pernikahan kami yang akan tiba sebentar lagi?

“Ada apa sayang?” tanyaku saat kami menghabiskan malam dirumahku.

“Hmm—aku ingin mengunjungi rumah bibiku.” Dia berkata menunggu reaksiku.


“Ya?”

Dia terlihat ragu. “Itu berarti aku akan meninggalkanmu. Aku tidak ingin meninggalkanmu.” Dia melanjutkan. Tangannya menggenggam tanganku didepan dadanya.

“Berapa hari kau pergi?”

Dia menggelengkan kepalanya. “Sebentar lagi kita akan menikah.”

“Tidak apa-apa, Justin. Aku mengerti, mereka keluargamu. Dan kau berhak mengunjungi keluargamu.”

“Ya, kau benar Sabrina.” Ucapnya benar-benar terlihat ragu.

“Ada apa?” aku bangkit berdiri dari sofa dan menatapnya.

“Aku akan pergi meninggalkanmu. Aku hanya—aku hanya tidak mau.” Dia memelukku. Menaruh kepalanya diatas bahuku.

“Kau akan kembali!” ucapku yakin.

“Sabrina.” Dia melepaskan pelukannya. “I have to leave you (really) this time—I’m gonna miss you. I’m gonna love you forever.”

Aku tersipu oleh ucapannya. “Kau hanya berkunjung. Dan saat kau pulang aku akan ada di bandara dan menjemputmu.” Ucapku. “Dan aku juga tentunya akan merindukanmu. Dan mencitaimu selamanya.” Balasku.

Ia tersinyum simpul seperti tidak percaya tapi aku memberinya senyuman untuk membuatnya percaya padaku.

“I love you…”

“I love you more and more and more.” Balasku.

***

Matahari sangat terik. Sudah dua hari Justin pergi mengunjungi Bibinya di Canada. Dia berjanji pulang hari senin dan aku berjanji akan menunggunya dan menjemputnya dibandara. Dan itu berarti adalah dua hari lagi dari sekarang.

Aku menghabiskan waktu dengan berbelanja bersama Fransisca, sahabatku. Dan kami sampai melupakan waktu kalau ini sudah malam. Kami bergegas pulang kerumah masing-masing. Aku tidak membawa mobil dan dia yang mengantarku kali ini. Sedari pagi tadi aku memang merasakan perasaan yang tidak enak saat sedang bersama Nicolas. Karena ia bilang Lucas dan Dylan berada di Canada saat ini. aku berdoa dalam semoga Justin tidak membohongiku.

Jika dia membohongiku? Entahlah apa yang akan terjadi. Tapi perasaanku sangat tidak baik. Dan saat aku menelepon Justin panggilanku selalu masuk kedalam pesan suara miliknya. Apa dia membohongiku?

Fransisca mengantarku sampai depan rumahku. Saat dia sudah pergi dengan mobilnya dan aku mencari kunci rumahku, handponeku berbunyi dari sebuah nomor yang tidak aku kenal. Aku membuka pintu rumah dan lalu mengangkat teleponku.

“Sabrina….”

Aku menghela napas panjang. Membanting semua belanjaanku dan menjatuhkan handponeku. Aku terjatuh lemas diatas lantai rumahku. Aku tidak percaya apa yang baru saja orang itu katakan. Aku menampar pipiku untuk menyadarkanku. Sakit.

Sangat sakit. aku menangis. Aku—aku tidak tahu harus melakukan apa selain menjatuhkan air mata itu. salah seorang teman Justin meneleponku dan memberitahuku bahwa Justin ditemukan tidak berdaya didalam kamar hotelnya di Canada. Aku tidak bisa merasakan jantungku masih berdetak. Aku menangis. Sakit. sangat sakit.

Aku mendengar suara mobil berdecit dan suara pintu mpbil yang ditutup kasar. “Sabrina…” itu suara Fransisca. Dia mengetuk pintuku. Dan setelah menyadari itu tidak terkunci ia masuk kedalam rumahku dan menemukanku terduduk dengan menarik lututku dan menumpu kepalaku pada lututku. Aku masih menangis.

“Ya tuhan!” pekiknya. “Aku mendengarnya! Aku mendengarnya Sabrina. Aku langsung kembali saat aku percaya bahwa itu tidak main-main. Justin---“

Aku menangis sangat kencang dan dia memelukku. Dia menenagkanku tapi aku tidak bisa! Aku tidak bisa tenang saat keadaan seperti ini.

Justin! Kekasihku! Dia.meninggal. aku tertawa dalam pelukan Fransisca, masih sama dengan air mataku yang seolah tak bisa berhenti.

“Tidak! dia tidak—tidak! dia berjanji akan pulang hari senin!” aku mencoba menghibur diriku dan untuk tidak percaya akan semua kenyataan pahit ini.

“Sabrina…” suaranya terdengar menyesal. Aku merasakan air matanya juga dipundakku. Dia menangis sama sepertiku, tapi hatinya tidak sama sepertiku. Dia menangis karena dia sahabatku dan dia berduka juga untukku. Tapi berbeda denganku. Aku menangis karena hatiku hancur. Hatiku remuk. Aku—aku bahkan tidak tahu istilah lain untuk hatiku saat ini.

“Justin…” pekikku.

Semua ini hanya mimpi. Dia akan kembali dengan raut wajah bahagia. Dan dia akan menikahiku! Tentu saja! Dua minggu lagi kami akan menikah! Kami akan menikah! Aku akan memakai gaun putih seputih bulu angsa dan dia akan memakai Tuxedo senada denganku. Dia akan menungguku dialtar kami bersama seorang pendeta. Aku akan berjalan menuju altar dengan diiringi Jazzy dan Jaxon. Kami akan bahagia dan berciuman setelah resmi menikah.

Tapi kenyataan ini menghancurkan semuanya. Kenyataan ini menusukku!

Aku menangis dan lalu semua gelap tidak menggambarkan apa-apa lagi.

***

Justin meninggal karena Over dosis. Dia menggunakan obat terlarang itu lagi. Dia terjebak oleh permainan Lucas dan Dylan. Justin ditemukan tidak bernyawa oleh karyawan hotel disana. Dia dipastikan meninggal saat dimulutnya mengeluarkan busa dan ia tidak bernapas lagi.

Hari ini aku berada dibandara dengan balutan dress berwarna hitam dan kaca mata hitam. Fransisca dan Delilah memayungiku. Salah satu diantara mereka melingkarkan tangannya disekeliling tubuhku dan terus mengusapnya untuk menenangkanku.

Kami disini semua –Keluarga Justin dan teman kami- menunggu dibandara untuk menjemput Justin yang diterbangkan dari Canada. Aku tidak sanggup menerima semua kenyataan ini tuhan. Aku menangis, tak bisa lagi meluapkan perasaanku selain dengan menangis.

Aku lebih tenang saat melihat peti kayu itu keluar dari dalam pesawat. Semua terdiam dan berduka untukku dan Justin. Mereka hanya terdiam. Aku mengahampiri peti mati itu. perjalanan dari tempatku menuju peti itu seperti memakan waktu yang sangat lama. Rasa tenangku habis saat aku mulai mendekati peti itu.

“Justin…” panggilku.

Aku masih berharap jika semua ini hanyalah leluconnyha. Dia akan keluar dan memberiku kejutan karena waktu kami untuk melangsungkan pernikahan tiggal sebentar lagi. Aku harap dia bercanda dan menahan tawanya dalam peti mati itu dan menunggu reaksiku. Dia akan keluar dari peti mati itu dan membuatku kaget dan lalu kami akan berpelukan.

Aku masih sangat percaya jika ini hanyalah leluconnya saja.

Aku kesal! Kenapa Justin tidak keluar-keluar juga dari peti mati itu! Aku ingin membunuhnya sekarang jika ia benar-benar tidak keluar dari peti mati itu. Aku menghapus air mataku. Tidak perduli betapa merah hidungku dan betapa bengkak kedua mataku karena menangis dan tidak tidur. Saat Melihat peti itu aku memanggilnya sekali lagi untuk memastikan Justin akan menjawabnya dan memastikan semua ini bukanlah mimpi.

“Justin…” aku menangis. Menaruh kedua tanganku diatas peti mati itu. Menahan semua gejolak didalam diriku untuk tidak sehancur yang kulakukan saat didepan peti mati jasadnya.

Aku dihadapkan dengan realita peti mati yang tidak bergerak dan tidak ada Justin yang akan mengagetkanku. Aku benci Justin!

Aku masih sama menundukan kepalaku membiarkan peti mati itu menopangku. “Kau berjanji pulang senin.” Aku berkata. “Tapi kau pulang hari ini. senin masih tinggal besok. Kau tidak menepati janjimu!” aku menekankan kata janji pada kalimat yang diiringi air mata dan suara isakanku. “Aku menepati janjiku untuk menjempumu dibandara. Aku menepatinya. Tapi bukan hari ini! bukan seperti ini!” aku berteriak tidak peduli semua memandang kami. “Bukan denganmu dalam peti ini!” suaraku bergetar dan aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku.

“Baby, why do you leave me?” aku terisak. Menangis lebih kencang. “Why do you have to go? I was counting on forever, now I’ll never know. I cant even breathe.” Aku menumpahkan semua yang aku rasakan padanya. Aku kecewa. Aku marah dan aku sedih.

“Everybody saying you’re not coming home now. This cant be happened to me!” aku melanjutkan. Menahan semuanya tapi tidak bisa. Aku terlalu hancur untuk itu. “This is Just a Dream.”

***  
 
Semua akan kembali ketempat dimana kita berasal, dan Justin terlebih dahulu kembali tanpa memberikanku peringatan sebelumnya. Dia kembali kesisinya dengan membawa semua cintaku yang tertanam untuknya. Aku tahu cinta yang ku punya melebihi cinta insan biasa. Aku terlalu mencintainya tuhan. Aku sangat menginginkan dirinya.

Dalam perjalanan hidupku dan Justin, dia adalah satu-satunya hal berharga yang melebihi berlian. Dia adalah cinta sempurna yang ku miliki. Namun kini dia telah tiada. Justin membiarkanku menghadapi semuanya sendirian, dengan hatiku yang tak lagi utuh karena dibawa bersamanya dan menyisakanku dengan kenangan tentangnya.

Justin akan selalu menjadi yang selalu ku ingat, selalu ku cinta. Tidak perduli betapa semua orang menentang hubungan kami dulu, dan tidak perduli seberapa orang menganggapku gila karena masih mengharapkannya kembali. Aku masih sangat mencintainya. Dia adalah hidup satu-satunya yang ku miliki.